Wolo-wolo Kuwato

WOLO WOLO KUWATO


 Ilustrasi Wolo-wolo Kuwato, Parmin Tukang Becak menunggu Penumpang.  Sumber: di sini


WOLO WOLO KUWATO DOA TAK BISA DIMAKAN


Dalam sebuah bacaan pesantren disebutkan kisah seorang ahli ibadah. Siang malam kerjanya berdoa melulu hingga istrinya marah karena tak ada lagi yang bisa dimakan. "Barang apa yang hidup merayap perlu makan. Carilah pekerjaan, Bang, karena sudah terbukti doa tak bisa dimakan," gerutu istrinya.

Tak enak didengar tetangga, ia berjanji mau bekerja. Ini hanya dalih semata. Sebab, sebenarnya, ia pergi ke gua agar bisa berdoa lebih khusyuk tanpa dicereweti sang istri. Pagi hari berangkat, sorenya baru pulang. Kepada istri ia berbohong bahwa majikannya akan membayar jerih payahnya sekaligus kelak, setelah beberapa lama bekerja. Suatu sore istrinya memasak aneka makanan. Ia heran, dari mana semua itu diperoleh? Tapi, belum sempat ditanya, si istri menjelaskan bahwa utusan majikan suaminya tadi datang mengantar bahan pangan dan sejumlah uang. "Baru aku berdoa sebentar, sudah Kaukirim bayaran begitu banyaknya," gumam orang itu.

Makin yakin ia pada kemurahan Tuhan, makin edan ia berdoa di gua.  Tentu saja, bukan apa yang dikatakan yang penting dalam kisah ini, melainkan arti simbolis yang dikandungnya. Selebihnya kita bebas menolak atau menerimanya.


WOLO WOLO KUWATO WERUH SAK DURUNGE WINARAH



Parmin, seorang tukang becak, dia memang gila porkas. Banyak dukun sudah ia datangi. Tiap orang gila dan kere yang seperti gila di Yogya ia kuntit: siapa tahu dalam omelannya terdapat petunjuk nomor. Sering ia tidur di kuburan mencari impen (impian). Jerih payahnya menarik becak pun ludes di meja Sitompul, agen porkas. Buat Parmin, hidup berarti porkas. Senik, istrinya, minta dipulangkan ke rumah orangtuanya karena tak tahan lagi hidup dalam alam porkas yang panas. Dan Gafur, anak tertuanya, berhenti sekolah karena tak ada biaya. Pendeknya, keluarga Parmin berantakan. Mertua ikut bingung.

Orangtua Parmin sendiri kehabisan nasihat. "Arep dadi opo to kowe, Min, Min ...," (mau jadi apa kamu), kata orangtuanya. Lama-lama Parmin mikir. Iya, ya. Mau jadi apa? Memang bukan tugas sosiolog atau psikolog untuk mengentaskan Parmin dari Porkas. Ini lebih merupakan urusan rohaniwan macam Pak Kiai atau Romo Mangun.

Yang jelas, bosan ke dukun, Parmin pergi ke kiai di Wonokromo, dekat dari rumahnya.
"Ada apa?" tanya Pak Kiai yang sudah tua itu.
"Saya mohon petunjuk, Pak Kiai."
"Saya cuma kiai. Tidak bisa memberimu nomor kode," kata Pak Kiai.
Parmin pun terkesiap heran, bagaimana Pak Kiai tahu bahwa ia pecandu porkas. ???
"Bukan, Pak Kiai. Saya mau tobat," kata Parmin.
Setelah pasrah bongkokan, artinya diapakan saja oleh Pak Kiai monggo mawon, jiwa Parmin "dicuci". Diajari pula salat dan berdoa. Tapi susah. Lidah Parmin tidak cocok untuk menyebut kata-kata Arab. "La Khaula wala kuata illa ...," kata Pak Kiai pelan. "La wala wala ...," Parmin tergagap-gagap.

Pak Kiai mau ketawa. Berkali-kali dicoba, hasilnya tetap la wala wala. Pusing juga ahli rohani itu. "Kalau nyebut porkas lancar, ya Min?" Parmin mesem. Akhirnya, jalan keluar ditemukan. Doa dipermudah. Yang penting intinya: wolo-wolo kuwato. Pas betul. "Tapi bukan cuma itu, Min. Mesti ditambah Duh, Gusti. Jadi, "Duh, Gusti, wolo-wolo kuwato. Artinya, kamu sambat, mengeluh, mengadu, pada Tuhan sambil terus giat narik becak." Tiap malam Jumat Parmin "digarap" Pak Kiai. Pesan beliau: "Kalau ada kegaiban, jangan heran. Gusti memang Mahagaib. Pokoknya, syukuri, dan perbanyak doa, giat usaha. Itulah laku utama," bisik Pak Kiai.

Kegaiban itu datang. Hampir tiap pagi, istrinya menemukan selembar uang lima ribuan di bawah pintu. Parmin lapor pada Pak Kiai. Jawab beliau, "Syukuri dan perbanyak doa." Dulu, Parmin dirongrong nafsu "ingin punya". Kini, di bawah asuhan Pak Kiai, seluruh jiwanya diliputi rasa pasrah. Ia ayem. Semeleh atau tawakal, memberinya ketenangan. "Hamba tak berdaya, kecuali atas pertolongan-Nya". Mudahnya: "Duh, Gusti, wolo-wolo kuwato". Di shopping centre, ia pernah berkali-kali, sejak pagi sampai jam lima sore, belum dapat penumpang. Ia panik. Apalagi belum sesuap pun nasi masuk perutnya. "Duh, Gusti wolo-wolo kuwato," keluhnya. Menjelang jam enam, seorang penumpang datang. Tanpa menawar ia langsung nomplok di becak itu. Begitu turun ia menyelipkan tiga lembar lima ribuan di saku Parmin. Ini pun dilaporkannya pada Pak Kiai. Hanya satu hal tak dilaporkannya. Ia ingin bikin kejutan.

Tapi belum sempat kejutan dibikin, ia terkejut. Pak Kiai wafat. Parmin merasa shock kehilangan godfather. "Min, sesaat sebelum pergi, Pak Kiai mengucapkan syukur bahwa kau sudah mengkredit becak," kata putra Pak Kiai.
Parmin kaget. Lo? Beliau sudah tahu? Memang, sejak sering ditemukannya "uang gaib" di rumah, ia menabung. Kepada istrinya ia berpesan untuk tak mengutik-utik uang di bawah bantal itu. Soal makan seadanya, ditanggulangi dari narik becak harian. Tabungannya itu digunakannya untuk mengangsur becak Bah Gendut. Begitu becak lunas, ia ingin "matur" Pak Kiai. Namun, beliau, ternyata, tak memerlukan laporan. Pak Kiai sudah tahu sak durunge winarah (tahu rahasia di balik tabir) "Yah, namanya juga wong suci," pikir Parmin.

Sekarang, setelah kepergian Pak Kiai, uang "gaib" tak lagi ditemukan di bawah pintu. Dalam hati Parmin bertanya-tanya. Namun, ia sadar, kegaiban toh tak bisa terjadi terus-menerus. Kegaiban hidup memang ada. Tapi hidup tak bisa semata disandarkan pada kegaiban itu. La khaula dan mengayuh becak barunya itulah kunci hidup yang sekarang dipegangnya.





Sumber:
Mohammad Sobary
Tempo 2 Februari 1991
Read more ...

GURU ZEN DAN SEORANG KRISTEN

Seorang Kristen suatu hari mengunjungi seorang Guru Zen dan berkata:

"Bolehkah aku membacakan beberapa kalimat dari Khotbah di Bukit?"

"Silahkan, dengan senang hati aku akan mendengarkannya," kata Guru Zen itu.

Orang Kristen itu membaca beberapa kalimat, lalu berhenti sejenak dan melihat Guru.
Guru tersenyum dan berkata: "Siapa pun yang pernah mengucapkan kalimat-kalimat ini, pastilah sudah mendapatkan penerangan budi."

 Ilustrasi Kotbah Tekstual, sumber: di sini


Orang Kristen senang. Ia meneruskan membaca.
Sang Guru menyela dan berkata: "Orang yang mengucapkan ajaran ini, sungguh dapat disebut Penyelamat dunia!"

Orang Kristen itu gembira ria. Ia terus membaca sampai habis.
Lalu sang Guru berkata: "Khotbah itu disampaikan oleh Seorang yang memancarkan cahaya ilahi."

Sukacita orang Kristen itu meluap-luap tanpa batas.
Ia minta diri dan bermaksud kembali untuk meyakinkan Guru Zen itu, agar ia sendiri sepantasnya menjadi seorang Kristen juga.

Dalam perjalanan pulang ke rumahnya, ia berjumpa dengan Kristus di pinggir jalan. "Tuhan," serunya dengan penuh semangat, "Saya berhasil membuat orang itu mengaku bahwa Engkau adalah Tuhan."

Yesus tersenyum dan berkata: "Apa gunanya hal itu bagimu, selain membesarkan ego Kristenmu?"


Sumber:
Burung Berkicau,
Anthony de Mello SJ,
Yayasan Cipta Loka Caraka,
Cetakan 7, 1994
Read more ...

Menemukan Allah

MENEMUKAN ALLAH



Ilustrasi Menemukan Allah Sumber: di sini


MUNGKINKAH ALLAH DITEMUKAN ?


Waktu itu,  waktu ceramah.
Sang Guru berkata,
"Kehebatan seorang komponis diketahui lewat nada-nada musiknya, tetapi menganalisis nada-nada saja tidak akan mengungkapkan kehebatannya. 
Keagungan penyair termuat dalam kata-katanya, namun mempelajari kata-katanya tidak akan mengungkapkan inspirasi 
Tuhan mewahyukan diri-Nya dalam ciptaan, tetapi dengan meneliti ciptaan secermat apa pun kamu tidak akan menemukan Allah; demikian juga bila kamu ingin menemukan jiwa melalui pemeriksaan cermat terhadap tubuhmu."


CARA MENEMUKAN ALLAH

 Pada waktu tanya jawab, seseorang bertanya, "Kalau begitu, bagaimana kami akan menemukan Allah?" "Dengan melihat ciptaan, tapi bukan dengan menganalisisnya."

"Dan bagaimana seseorang harus melihat?"
"Seorang petani keluar untuk melihat keindahan pada waktu matahari terbenam, tetapi yang ia saksikan hanyalah matahari, awan, langit, dan cakrawala - sampai ia memahami bahwa keindahan bukan 'sesuatu,' melainkan cara khusus melihat.

Kamu akan sia-sia mencari Allah sampai kamu memahami bahwa Allah tidak bisa dilihat sebagai sesuatu. Yang diperlukan ialah cara khusus untuk melihat - mirip seperti cara seorang anak kecil yang pandangannya tidak diganggu oleh pelbagai ajaran dan keyakinan yang telah dibentuk sebelumnya."





Sumber: 
Berbasa-basi Sejenak
Anthony de Mello SJ
Penerbit Kanisius
Cetakan 1, 1997
Read more ...

Gengsi

Gengsi

Sumber: di sini


Meskipun gengsi itu tidak enak dimakan, sering dalam hidup ini kita mati-matian memburunya. Demi gengsi orang bersedia melakukan apa saja, berapa pun besar ongkos dan risikonya. Banyak tindakan melawan hukum, tata susila dan moral, dilakukan demi mengejar gengsi. Lain orang lain pula simbol-simbol yang dipandang bergengsi.

Unsur etnis, kesukuan, agama, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, jenis kelamin dan tingkat usia seseorang, sering mewarnai perbedaan-perbedaan tadi. Unsur lokal (di daerah mana atau kompleks apa) seseorang tinggal, juga mempengaruhi corak perbedaan gengsi tadi. Di kompleks perumahan sederhana, orang masih bisa bangga betapa ia baru pulang dari Blok M membeli mesin cuci atau video. Pekerjaan "mulia" itu biasanya diemban oleh, maaf agak terus terang, kaum ibu.

Di kalangan sarjana, lain lagi ulah orang untuk menunjukkan gengsi ini. Pernah seorang doktor dari Indonesia memberi ceramah di Universitas Monash, Australia, di depan mahasiswa Indonesia. Dalam sepuluh dari tiga puluh menit ceramahnya ia sibuk bicara tentang dirinya, termasuk bahwa ia murid Ivan Illich dan Rostow yang beken itu. Arti simbolik dari "pidato"-nya itu pun merupakan usaha menunjukkan gengsi untuk menimbulkan efek "wah". Memang banyak orang terkesima mendengar murid Rostow itu bicara. Namun ada juga yang tampak gelisah. Saya malah mengantuk. Ketika ceramah selesai, orang pun menggerutu. Katanya, ceramahnya tidak bermutu. Saya tidak setuju. Mana bisa doktor tidak bermutu? "Kamu tidur kok bisa tidak setuju," gerutu salah seorang. Maksud saya, mutu sudah terang ada, cuma tak setinggi langit harapan kita. Memang salah para pendengar. Mereka terlalu banyak berharap. Orang sering keliru, dikiranya kualitas luar negeri (dan murid sarjana kenamaan) mesti hebat.

Sebenarnya, kita musti sepaham dulu dalam dua hal: bahwa kebesaran guru belum tentu merembes ke murid, dan bahwa doktor haruslah pertama-tama dilihat, apa boleh buat, cuma sebagai lambang selesainya sebuah proses administratif. Artinya, tak usah dulu bicara tentang kemampuan akademisnya. Namun, apa yang terjadi di sekitar kita memang lain. Kita terlanjur menilai, doktor itu sebuah gengsi akademis yang tinggi. Sikap seorang doktor dengan orang awam pun jadinya ada keserupaan. Mereka, pada dasarnya, kelewat bangga terhadap gengsi. Kenyataan tidak seimbangnya gelar dengan kemampuan akademis, atau, tak seimbangnya gengsi dengan esensinya sebagai seorang doktor, merupakan soal lain. Kita lihat saja, misalnya, betapa gigih mahasiswa sekadar mengejar lulus demi gelar. Jadi demi gengsi. Dan bukan memburu esensi.

Sudah barang tentu sikap mereka salah. Tapi kurang adil kita menimpakan kesalahan hanya pada para pemburu gengsi itu. Soalnya, mungkin kita semua punya kontribusi terhadap terbentuknya sikap dan orientasi hidup seperti itu. Mungkin kita semua sudah gila gengsi. Membanggakan mantan guru, almamater, jabatan, orang tua, atau gelar akademis, diam-diam lalu menjadi lumrah. Tidak punya kemandirian dianggap biasa. Jarang jadinya orang yang berani bersikap lugas, apa adanya. Kalau toh ada juga, itu sebuah kekecualian. 



Beberapa bulan lalu, saya berkenalan dengan seorang yang rambutnya mulai memutih. Saya sulit menduga sebagai apa dia. Dia hanya mengaku bekerja di sebuah departemen, yang saya tahu pusat penelitiannya baik. Tapi ketika saya tanya apakah dia peneliti, dengan datar dia menjawab: "Saya cuma birokrat." Tak ada kesan apa-apa di wajahnya. Di masyarakat kita, birokrat sering dipandang remeh. Setidak-tidaknya gelar birokrat tampak tak seluhur cendekiawan, dramawan, penyair atau ahli ini ahli itu. Citra birokrat terlanjur negatif. Pengakuan "saya cuma birokrat" itu lalu terasa mengesankan kegetiran. Tapi mungkin juga keberanian. Penasaran saya jadinya. Dari orang lain akhirnya saya tahu, dia bukan sembarang orang. Dia seorang Dirjen. Kabarnya, Menteri pernah menawarinya rumah di Menteng. Tapi dia menolak. Lebih suka dia tinggal di rumah sederhana yang dibelinya sendiri.

Sebagai birokrat, rumus kerjanya cuma dua: "Bikin tiap orang yang keluar dari kamarmu tersenyum bahagia. Jadikan jabatanmu sarana ngibadah (beribadah)". Saya kagum. Saleh orang ini. Tak banyak di negeri kita orang yang bicara tentang jabatan sebagai sarana ngibadah. Umumnya, jabatan dijadikan wahana mewujudkan impian-impian dan sarana menjunjung tinggi (secara sosial, ekonomi, dan politis) gengsi keluarga, anak cucu dan para cicit.




Sumber:
Mohammad Sobary
Suara Pembaruan, 18 Januari 1992
Read more ...

Terserah Tuhan

TERSERAH TUHAN

Ilustrasi Terserah Tuhan. Sumber: di sini


Hidup di zaman kebangkitan Islam (kalau benar konsep ini menggambarkan realitas sosial sekarang) memiliki persoalan tersendiri. Ke dalam lingkungan mana pun saya masuk, di sana saya jumpai orang yang semangat Islamnya menggelora.

Ketika di Universitas Muhammadiyah Jakarta saya diminta bicara di depan segenggam mahasiswa "penjaga mesjid", saya diingatkan agar lebih menguasai Islam secara tekstual. Karena, pendekatan saya, kata salah seorang dari mereka, bersifat "ilmu sosial" biasa. Bagi banyak pihak, yang bersifat formalis macam ini, sesuatu termasuk "agama" hanya bila ia diwarnai Quran dan Hadis. Dari tahun ke tahun, ada saja mahasiswa Indonesia, di Universitas Monash, yang bersemangat memburu daging halal. Dasarnya, daging di supermarket haram karena disembelih tidak dengan cara Islam. Penjelasan --bahwa makanan para ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) halal bagi Muslim-- tidak pernah laku.

Akhir-akhir ini, saya memberi ceramah. Tanpa menyebut sepotong pun ayat, saya bicara agama. Buat saya, agama terpancar dalam hidup, bukan dalam kitab. Saya tidak kitab minded, karena, agama lebih menuntut tindakan, bukan kecanggihan ilmu, dari pemeluknya. Kita bisa jadi pemeluk yang baik tanpa harus menjadi ahli. Persoalan muncul. Saya diultimatum oleh wanita berjilbab: "Lain kali, hati-hati. Kalau ceramah begitu di Indonesia bisa pulang tinggal nama."

Betapa mengerikannya. Memang, hanya orang yang paham yang tahu bahwa saya pun sebenarnya berpijak pada ayat Tuhan, yakni ayat kauniah yang tak disebutkan dalam kitab suci. Mas Djohan (Djohan Effendi) pernah bicara tentang guru yang membikin murid bertanya-tanya.

Saat pelajaran agama, anak-anak diajak membersihkan halaman, kamar mandi dan WC.

"Pak, katanya, pelajaran agama?" tanya seorang murid.
"Ya, ini juga pelajaran agama," kata Pak Guru, tenang.  
"Dasar teorinya: 'kebersihan adalah sebagian dari iman'.  
Nah, dengan tindakan tadi, kita buktikan, kita pun beriman.."
Anak-anak mesem.
Agama, dengan begitu, masih tetap agama biarpun tak diwarnai bunyi ayat-ayat dalam kitab suci.


Hardi itu lulusan PGA. Ia setengah kiai. Paham Quran dan Hadis. Bahkan, juga kitab kuning. Tapi, ia gelisah. Ada yang tak beres dalam hidupnya. Ia pun datang pada Pak Kiai, mohon petunjuk.
"Kamu tidak butuh kiai macam saya," kata Pak Kiai.
"Pergilah kamu pada Kamin."

Hardi kaget. Orang tahu, Kamin itu cuma tukang bakso. Tahu apa tukang bakso, yang tak pernah sekolah, tentang rahasia hidup? "Kiai gendeng," pikirnya.
"Tidak, saya serius, Nak," kata Pak Kiai.

Hardi sungkem. Seperti sujud, ia mencium dengkul Pak Kiai, sambil minta maaf atas 'gendeng'-nya tadi. Tapi, mengapa Kamin? Ia masih penasaran. Tentu saja, Pak Kiai bermaksud baik. Bukankah, kadang, kiai tak mau bicara langsung?

Dengan rumusan itu di kepala, ia pergi ke rumah Kamin.
Tak ada yang istimewa di sana, selain bahwa Kamin sekeluarga bekerja keras. Anak-anaknya dikerahkan untuk membantu mencuci gelas. Yang lain mengerok kelapa muda untuk campuran es. Yu Ginah, istrinya, menggoreng krupuk.

Setelah periksa sana periksa sini, Kamin ke warung kecil di depan rumahnya itu, melayani pembeli. Warung itu maju. Bakso, krupuk udang, dan es kelapa, jadi pasangan serasi. Pembeli berjejal. Anak-anak Kamin, empat orang, semua sekolah. Biayanya, ya, dari warung kecil itu. Biaya sekolah dari situ. Biaya hidup dari situ. Mereka hidup tentram.

Hardi mulai tertarik. Ia mencoba mengamati lebih dekat, lebih dalam. Setelah salat bersama pada suatu hari, mereka dialog.  Tapi, Kamin itu pendiam. Ia bicara sedikit.

"Apa doa kang Kamin sehabis salat?" tanya Hardi.
"Saya serahkan hidup ini pada Tuhan," jawabnya, polos.

"Warung Anda maju. Apa rahasianya?"
"Tidak ada. Semua terserah Tuhan."

"Anak-anak Anda sekolah. Apa rencana Anda untuk mereka?"
"Semua saya serahkan Tuhan."

"Maksudnya?"
"Saya orang bodoh, tidak tahu apa mereka bisa jadi pegawai, buruh, atau tukang bakso juga. Saya percaya, Tuhan mahapengatur. Jadi, semua terserah Tuhan."

Hardi pernah mendengar, orang barat yang mengagumi Soedjatmoko, menganggap bahwa almarhum adalah jenis orang yang belum dirusak oleh sistem pendidikan tinggi. Ia masih murni.

Kamin, si tukang bakso ini, iman dan takwanya juga murni, dan total.
Hardi sujud. Bijaksana Pak Kiai mengirim dia ke Kamin.  
Ketulusan macam Kamin itu, memang, yang belum dimilikinya selama ini.




Sumber: 
Mohammad Sobary
Editor, No.32/Thn.IV/27 April 1991
Read more ...