Doa Kang Suto

DOA KANG SUTO

Ilustrasi Doa Kang Suto.  Sumber: di sini


SEBELUM KANG SUTO MUNCUL


Pernah saya tinggal di Perumnas Klender. Rumah itu dekat mesjid yang sibuk. Siang malam orang pada ngaji. Saya tak selalu bisa ikut. Saya sibuk ngaji yang lain. Lingkungan sesak itu saya amati. Tak cuma di mesjid. Di rumah-rumah pun setiap habis magrib saya temui kelompok orang belajar membaca Al Quran. Anak-anak, ibu-ibu dan bapak-bapak, di tiap gang giat mengaji. Ustad pun diundang.

Di jalan Malaka bahkan ada kelompok serius bicara sufisme. Mereka cabang sebuah tarekat yang inti ajarannya berserah pada Tuhan. Mereka banyak zikir. Solidaritas mereka kuat. Semangat agamis, pendeknya, menyebar di mana-mana. Dua puluh tahun lebih di Jakarta, tak saya temukan corak hidup macam itu sebelumnya. Saya bertanya: gejala apa ini?

Saya tidak heran Rendra dibayar dua belas juta untuk membaca sajak di Senayan. Tapi, melihat Ustad Zainuddin tiba-tiba jadi superstar pengajian (ceramahnya melibatkan panitia, stadion, puluhan ribu jemaah dan honor besar), sekali lagi saya dibuat bertanya: jawaban sosiologis apa yang harus diberikan buat menjelaskan gairah Islam, termasuk di kampus-kampus sekular kita? Benarkah ini wujud santrinisasi?

Di Klender yang banyak mesjid itu saya mencoba menghayati keadaan. Sering ustad menasihati, "Hiasi dengan bacaan Quran, biar rumahmu teduh." Para "Unyil" ke mesjid, berpici dan ngaji. Pendeknya, orang seperti kemarok terhadap agama.


MUNCULNYA KANG SUTO


Dalam suasana ketika tiap orang yakin tentang Tuhan, muncul Kang Suto, sopir bajaj, dengan jiwa gelisah. Sudah lama ia ingin salat. Tapi salat ada bacaan dan doanya. Dan dia tidak tahu. Dia pun menemui pak ustad untuk minta bimbingan, setapak demi setapak.

Ustad Betawi itu memuji Kang Suto sebagai teladan. Karena, biarpun sudah tua, ia masih bersemangat belajar. Katanya, "Menuntut ilmu wajib hukumnya, karena amal tanpa ilmu tak diterima. Repotnya, malaikat yang mencatat amal kita cuma tahu bahasa Arab. Jadi wajib kita paham Quran agar amal kita tak sia-sia." Setelah pendahuluan yang bertele-tele, ngaji pun dimulai. Alip, ba, ta, dan seterusnya. Tapi di tingkat awal ini Kang Suto sudah keringat dingin. Digebuk pun tak bakal ia bisa menirukan pak ustad.

Di Sruweng, kampungnya, 'ain itu tidak ada. Adanya cuma ngain. Pokoknya, kurang lebih, ngain. "Ain, Pak Suto," kata Ustad Bentong bin H. Sabit. "Ngain," kata Kang Suto. "Ya kaga bisa nyang begini mah," pikir ustad. Itulah hari pertama dan terakhir pertemuan mereka yang runyem itu. Tapi Kang Suto tak putus asa. Dia cari guru ngaji lain. Nah, ketemu anak PGA. Langsung Kang Suto diajarinya baca Al-Fatihah. "Al-kham-du ...," tuntun guru barunya. "Al-kam-ndu ...," Kang Suto menirukan. Gurunya bilang, "Salah." "Alkhamdulillah ...," panjang sekalian, pikir gurunya itu. "Lha kam ndu lilah ...," Guru itu menarik napas. Dia merasa wajib meluruskan. Dia bilang, bahasa Arab tidak sembarangan. Salah bunyi lain arti. Bisa-bisa kita dosa karena mengubah arti Quran.

Kang Suto takut. "Mau belajar malah cari dosa," gerutunya. Ia tahu, saya tak paham soal kitab. Tapi ia datang ke rumah, minta pandangan keagamaan saya. "Begini Kang," akhirnya saya menjawab. "Kalau ada ustad yang bisa menerima ngain, teruskan ngaji. Kalau tidak, apa boleh buat. Salat saja sebisanya. Soal diterima tidaknya, urusan Tuhan. Lagi pula bukan bunyi yang penting. Kalau Tuhan mengutamakan ain, menolak ngain, orang Sruweng masuk neraka semua, dan surga isinya cuma Arab melulu." Kang Suto mengangguk-angguk.

Saya ceritakan kisah ketika Nabi Musa marah pada orang yang tak fasih berdoa. Beliau langsung ditegur Tuhan. "Biarkan, Musa. Yang penting ketulusan hati, bukan kefasihan lidahnya." "Sira guru nyong," (kau guruku) katanya, gembira. Sering kami lalu bicara agama dengan sudut pandang Jawa. Kami menggunakan sikap semeleh, berserah, pada Dia yang Mahawelas dan Asih. Dan saya pun tak berkeberatan ia zikir, "Arokmanirokim," (Yang Pemurah, Pengasih).


KALA KANG SUTO BERDOA


Suatu malam, ketika Klender sudah lelap dalam tidurnya, kami salat di teras mesjid yang sudah tutup, gelap dan sunyi. Ia membisikkan kegelisahannya pada Tuhan. "Ya Tuhan, adakah gunanya doa hamba yang tak fasih ini. Salahkah hamba, duh Gusti, yang hati-Nya luas tanpa batas ..." Air matanya lalu bercucuran. Tiba-tiba dalam penglihatannya, mesjid gelap itu seperti mandi cahaya. Terang-benderang. Dan kang Suto tak mau pulang. Ia sujud, sampai pagi ...




Sumber : 
Mohammad Sobary
Editor, No.21/Thn.IV/2 Februari 1991
Read more ...

Ayah dan Pici

AYAH DAN PICI


Ilustrasi Ayah dan Pici : Jawaharlal Nehru memakai Pici.  Sumber: di sini

AYAH


Manusia bukan gunung.  Ini pepatah Rusia yang saya dengar dalam film The Gulag Archipelago.  Artinya, manusia bisa berubah. Begitu juga Ayah.
Saya hidup dalam dunia kecil yang ruwet. Desa saya desa Muhammadiyah. Pengajian saya pun, di sore hari, Muhammadiyah; maka, jadilah saya anak Muhammadiyah. Ayah lain lagi. Ia sudah ada sebelum datang ke desa kami unsur pembaru itu.

Ia abangan. Apa boleh buat.
Abangan? Ia memang tak mendefinisikan diri begitu. Maka, baiknya diperjelas: ia tak salat lima waktu. Tapi ia pernah bertapa, seperti dilakukan Gusti Kanjeng Nabi Muhammad sebelum masa kenabiannya. Ayah juga mengajar saya berhenti makan sebelum terlalu kenyang seperti teladan Kanjeng Rasul. Dan ia pun doyan tirakat, seperti riadloh teman-teman NU di pesantren: makan cuma umbi-umbian, cegah daging, cegah garam. Dan melek malam. Wisdom-nya: jangan sebut keburukan orang. Lupakan kebaikanmu sendiri. Baginya, agama itu hidup. Kalau kita sudah mengerti makna hidup, baru kita paham apa itu agama

Ketika saya masih sembilan tahunan ia pernah menegur, "Untuk apa kamu jengkang-jengking (salat)? Tahu apa kamu?" Saya sedih. Di luar rumah, tahun 1960-an itu, teman-teman yang lebih dewasa bicara ideologi. Juga soal jihad, perang sabil, dan keluhuran agama. Tapi tiap lagu Genjer-Genjer dinyanyikan sebelum dan sesudah pertunjukan ketoprak, terasa di sana bagaimana pihak "musuh" meremehkan agama. Ada bahkan ketoprak dengan lakon: Patine Gusti Allah (Kematian Tuhan).

Di tengah kemiskinan yang mencekam, bicara tentang ideologi dan tentang kawan dan lawan memang terasa seperti jalan keluar yang baik. Ideologi membuat lupa bahwa sebetulnya kita lapar, dan bahwa kita tak mampu beli beras. Beras ibarat semahal emas. Kami makan bubur. Mungkin lebih tepat minum, sebab terlalu encer. Itu pun kadang kurang. Sering Ayah menahan diri dan tak makan. Hampir tiap malam Ibu tidur di lantai, di depan pintu, tanda prihatin. Menjelang tidur, Simbah selalu bicara tentang zaman normal, zaman lampau yang lebih baik, ketika Ayah masih anak-anak. Simbah, Ayah, dan Ibu percaya zaman susah itu akan berakhir segera setelah datang Ratu Adil suatu hari nanti. Saya tidak tahu Ratu Adil. Yang saya ketahui ialah bahwa saya takut. Sikap mereka, bicara setengah berbisik, bercerita setengah berharap, buat saya terasa seolah isyarat akan datangnya sesuatu yang lebih gawat.

Goro-goro, menurut orang Jawa, pertanda akan datangnya perubahan alam serta zaman. Dalam dunia wayang, setelah goro-goro di tengah malam itu, keluar Petruk, Semar, Gareng, Bagong: simbolisasi rakyat. Mereka mengawal, dan juga gigih membantu, satria utama menegakkan kebenaran. Gerakan 30 September PKI yang bikin bumi kita gonjang-ganjing, barangkali juga goro-goro itu. Pemerintahan diganti sesudahnya. Tatanan politik diubah. Pancasila dan UUD 45 dikedepankan. Partai politik dibuat sederhana. Dan kehidupan agama lebih semarak. Terbukti, ketakwaan kepada Tuhan jadi salah satu syarat pengangkatan seorang menteri.

Rapat-rapat raksasa dan ganyang ini ganyang itu harus juga menjadi jiwa dan semangat rakyat di zaman Orla dulu, tetapi deru "mesin" pembangunan Orba menggantikannya. Kurang lebih jargonnya berbunyi: partai/ideologi politik mengakibatkan perpecahan, pembangunan menghasilkan beras. Kongkret sekali. Keadilan sosial belum tercapai tak menjadi soal karena pembangunan belum selesai. Maka, rakyat harus membantu para "satria" mendorong roda pembangunan. Tiap suasana kritis, rakyat diminta mengetatkan sabuk. Ini demi pembangunan. Betul jihad itu bukan melulu berarti kibasan pedang dalam luapan rasa marah. Tapi kata itu telanjur tidak cocok buat alam pembangunan. Petugas KB malah diberi hak "mengintip" kamar tidur tiap pasangan suami-istri agar mereka tak terlalu banyak bersanggama. Alasannya pun jelas: lebih baik energi itu buat pembangunan.


AYAH DAN KEISLAMAN


Wajah Indonesia berubah cepat. Di sana-sini yang tampak cuma pembangunan dan pembangunan. Begitu juga wajah desa saya. Muhammadiyah makin gaya. Pembinaan umat meluas. Dan Ayah kini sembahyang. Ke sana kemari bersafari dan berpici. Seolah takut bahwa tanpa pici lalu bukan Islam. "Saya senang Ayah jadi santri," saya kasih komentar.

"Dari dulu, sebetulnya Ayah juga Islam," sahutnya. "Hanya dulu itu belum 'nglakoni' (menjalankan)." Dari dulu Islam? Saya tak mengerti. Dalam benak saya terpola rumusan Clifford Geertz: yang salat itu santri, yang tidak berarti abangan.

"Tidak begitu," kata Bambang Pranowo dalam disertasi doktornya di Universitas Monash Australia itu. "Keislaman bukan state of being. Ia state of becoming. Dikotomi santri abangan itu tidak tepat."

"Sekarang Ayah salat," Ayah menjelaskan, "tapi tetap seperti dulu: tak suka ideologi karena bikin ricuh, mengganggu stabilitas nasional," katanya lagi, persis pejabat, atau Pak Kades dalam film Si Unyil. Pendeknya, fenomena Ayah sembahyang pun ada kaitan dengan pembangunan.

Maka, malam itu saya pun salat habis-habisan. Saya cuma berdoa, semoga Ayah diangkat jadi menteri ... 




Sumber : 
Mohammad Sobary
Tempo, 31 Agustus 1991
Read more ...

Simbol

Sang Guru menyatakan bahwa dunia yang dilihat oleh kebanyakan orang bukan dunia Kenyataan, melainkan dunia yang diciptakan oleh pikiran mereka.

 

 

SIMBOL


Ilustrasi "Simbol".  Sumber: di sini



Ketika seorang ahli datang untuk berdebat soal itu, Sang Guru meletakkan dua batang korek api di atas lantai dalam bentuk huruf "T" dan bertanya,

"Apa yang kamu lihat di sini?"

"Huruf T," jawab ahli itu.

"Persis seperti yang saya pikirkan," kata Sang Guru.

"Tak ada huruf T; itu hanyalah sebuah simbol di kepalamu.

Apa yang kamu lihat di sini adalah dua potong kayu berbentuk batang."




Sumber: 
Berbasa-basi Sejenak
Anthony de Mello SJ
Penerbit Kanisius
Cetakan 1, 1997
Read more ...

Orang-orang Berjubah

Orang-orang Berjubah


ilustrasi Orang-orang Berjubah.  Sumber: di sini


Pintu flat saya diketuk. Dan, saya membukanya. Tiga orang berjubah hitam tampak di depan pintu.
Saya kaget. Apa salah saya, sampai orang-orang dari pengadilan datang kemari?
Bukan.

Ternyata, mereka orang-orang gereja. Yang di tangan mereka bukan kitab undang-undang, melainkan kitab suci. Ayem saya.

 "Are you Christian?" tanya salah seorang berjubah itu
"No, mate, I'm a Moslem."

Tak jadi soal. Mereka tetap mendakwahi saya. Disuruhnya saya membaca Bibel.
Saya merasa ditodong. Buat mereka, Bibel harus dibaca, sebab dunia ini rusak karena orang tak lagi membaca Bibel.

"Alangkah sepele sebab kerusakan dunia," pikir saya.
"Di dalam kitab ini, kunci keselamatan ditemukan," kata Christ yang brewok itu. Saya jadi takut. Keadaan kelihatannya genting. Namun, saya akui, uraiannya terlalu simplistik. Saya jadi mengerti, mengapa teman lain yang punya pengalaman serupa menggerutu. Tahulah saya, mengapa banyak orang menutup pintu bagi mereka.


Malam hari, saya suka datang ke Mesjid Noble Park. Semula, mesjid itu sebuah gereja. Karena sudah "bangkrut", gereja dijual. Orang-orang Polandia membelinya dan menjadikannya mesjid. Di mesjid itu, orang Polandia juga berjubah hitam. Mereka mengenakan sepatu waktu salat. Biasanya, selesai salat, tiap jemaah dilempari tasbih. Tampaknya, ada petugas yang khusus melempar-lempar. Suasananya enak. Tenang sekali buat berzikir.

Suatu malam, di tengah kenikmatan zikir itu, seorang berjubah menjawil. "My brother, where are you from?" tanyanya. "Indonesia." Diajaknya saya bicara Semangat brotherhood nya besar. Dia bertanya alamat di Indonesia. Juga, alamat di Australia.

Bagi brother dari Mesir ini, dunia juga rusak, karena orang terlalu mementingkan materi. Di Australia, misi yang dibawanya adalah "berjuang" mewujudkan tatanan Islami. Ia mengatakan, Islam itu sempurna. Paling sempurna. Dan, mudah. Sejauh orang menuruti jejak Kanjeng Nabi, hidup sudah beres. Tidak lupa pula, dia mengundang saya ke mesjid Preston, di mana saya bisa bertemu para brother muslim dari berbagai penjuru dunia.

Saya ingat, di Monash, banyak saya jumpai brother dari Malaysia yang punya semangat seperti itu. Mereka ini anggota Jami'atul Tabligh. Semangat mereka hebat dalam mengajak orang Islam untuk menjadi lebih Islam. Mereka fundamentalis.

Pandangan mereka juga simplistik. Kata-kata kunci mereka mudah diingat: dunia sudah rusak, muslim lain hanya sekumpulan domba yang sesat, dan tidak sempurna keislaman kita kalau kita tak berjenggot seperti mereka. Jadi, jenggot merupakan ukuran puritansi. Sebaliknya, kalau sudah seperti mereka, hidup akan amat mudah.

Salah seorang brother dari Malaysia ini meninggalkan istrinya di Malaysia. Saya tanya, apa tak "payah" hidup jauh dari istri. Dia tegar menjawab: "Allah will provide." Maksudnya, Allah akan menyediakan istri. Mereka membolehkan nikah mut'ah. Ketika itu, saya masih tinggal di hall yang mahal. Tapi, saya bilang, sulit mencari flat yang murah. "Allah will provide," katanya lagi. Tiap soal dijawab: "Allah will provide."

Pintu flat saya diketuk. Dan, saya membukanya. Di depan pintu, tampak orang-orang berjubah. Mereka bukan orang-orang dari gereja, melainkan dari mesjid. Satu orang saya kenal, karena pernah bertemu di Mesjid Noble Park. Mereka datang bersilaturahmi. Saya lega. Namun, ketika mereka bicara bahwa dunia sudah rusak, saya gelisah. Saya khawatir "khotbah" mereka berkepanjangan. Syukurlah, mereka segera tancap gas.

Di Pamulang, saya bertemu dengan orang-orang berjubah juga. Mereka jemaah Darul Arqam. Sambil meneliti, saya mengaji bersama mereka. Bagi mereka, dunia juga sudah rusak, karena kita kena penyakit "cinta dunia". Menurut mereka, sakit itu bisa diobati dengan tatanan Islami. Macam apa? Seperti contoh Kanjeng Nabi. Bagi mereka, jenggot dan jubah juga simbol keislaman. Di mana-mana, orang bicara bahwa "dunia sudah rusak".



Di mana-mana, orang bicara puritansi. Kritik saya sederhana: mereka lupa membedakan agama dari kebudayaan Arab dan Islam dicampur-aduk. Dikiranya, baru sah Islam kita kalau kita sudah "Arab". Mereka menolak iman yang tidak tampil dalam "wajah" Arab.

Pintu flat saya diketuk. Dan, saya membukanya. Orang-orang berjubah dari gereja dan dari mesjid hari Minggu itu datang bersama. Flat saya yang kecil itu menjadi gereja sekaligus mesjid. Saya tak setuju dengan pandangan keagamaan mereka. Tapi, bagaimanapun, melihat semangat dan ketulusan mereka, saya menaruh rasa hormat. Saya tetap bersikap baik. Sebab, siapa tahu --kalau benar mereka ini "penyelamat" dunia, seperti Kanjeng Nabi Nuh AS-- saya bisa menumpang selamat di perahu mereka.




Sumber : 
Mohammad Sobary Editor, No.30/Thn.IV/6 April 1991
Read more ...

Pengaruh Spiritualitas

PENGARUH SPIRITUALITAS


 Ilustrasi Pengaruh Spiritualitas.  Sumber : di sini
 

"Sebutkan satu pengaruh praktis dan nyata dari spiritualitas," kata seorang skeptis yang siap berdebat.

"Salah satunya ialah," kata Sang Guru,
"ketika seseorang menyerang kamu, kamu dapat membangkitkan rohmu ke ketinggian  yang tidak dapat dicapai oleh serangan mana pun."



Sumber : 
Berbasa-basi Sejenak
Anthony de Mello SJ
Cetakan 1, 1997
Penerbit Kanisius
Read more ...

Tidak Bekerja Tidak ada Makanan

TIDAK BEKERJA TIDAK ADA MAKANAN



Ilustrasi Tidak Bekerja Tidak ada Makan.  Sumber: di sini



GURU ZEN YANG TERBIASA BEKERJA BERSAMA MURID-MURIDNYA

 

Hyakujo, seorang guru Zen berkebangsaan China, terbiasa bekerja beserta dengan murid-muridnya .
Bahkan pada usianya yang sudah delapan puluh tahun, memangkas rumput taman, membersihkan halaman, dan merapikan tanaman.  

Para muridnya merasa tidak tega melihat guru mereka yang telah tua renta masih bekerja berat, tetapi mereka tahu bahwa guru mereka tidak akan mendengarkan nasihat untuk berhenti bekerja, sehingga mereka menyembunyikan perkakas kerjanya.
 
Pada hari itu, guru mereka tidak makan. Hari berikutnya juga, dan demikian pula dengan keesokan harinya lagi. "Ia mungkin marah karena kita menyimpan perkakasnya," duga murid-muridnya. "Sebaiknya kita kembalikan lagi perkakasnya itu."  


MAKAN ADALAH MEMENUHI KEBUTUHAN ENERGI UNTUK KERJA


Setelah mereka mengembalikannya, guru mereka kembali bekerja dan makan sebagaimana sebelumnya. Pada malam hari, ia menginstruksikan mereka, "Tidak bekerja, tidak ada makanan."



Sumber :
Daging Zen Tulang Zen
Bunga Rampai Karya Tulis Pra-Zen dan Zen
Dikumpulkan oleh: Paul Reps Edisi Keenam Oktober 1996
Yayasan Penerbit Karaniya
Read more ...