Rendra, Adawiah dan Bima
Ketika pertama kali suhu Bangau Putih, Subur Rahardja,
datang ke Bengkel Teater, pendekar itu heran, mengapa Rendra
mengajarkan anak buahnya latihan tenaga dalam.
"Tenaga dalam apa?" Rendra ganti heran.
Ia memang tak
bermaksud memberikan latihan tenaga dalam seperti itu. Tapi
di Bengkel Teater memang ada latihan khusus untuk kembali
membangkitkan naluri-naluri primitif yang cenderung melemah
atau mungkin sudah mati, dalam diri manusia modern.
Di tengah hujan lebat, pada malam hari yang gelap misalnya,
segenap anggota Bengkel Teater harus menempuh jarak
tertentu. Sambil telanjang kaki (tak peduli menabrak batu,
duri atau beling) mereka tempuh kegelapan itu. Insting dan
segenap naluri untuk bertahan hidup merupakan "obor"
satu-satunya yang menerangi kegelapan itu.
Ini salah satu contoh olah batin anggota Bengkel yang
diberikan oleh sang mahatma resi Rendra kepada anak buahnya
di luar "studio". Di dalam "studio" ada lagi corak laku
batin yang lain. Namanya nggrayang rogo. Maksudnya menyentuh
segenap unsur jaringan raga kita dengan rasa. Bagian-bagian
dalam jaringan itu, sampai pada titik yang paling halus
sekali pun (Rendra fasih seperti dokter menyebutkan
nama-namanya) disentuh dengan rasa untuk suatu program
revitalisasi. Jaringan yang loyo "diurut" dengan rasa. Dan
dengan itu bangkit segar bugar kembali.
Prinsipnya latihan ini buat kepentingan "fitness." Pemain
drama harus tetap prima. Apalagi Rendra memang sering
mementaskan lakon-lakon panjang yang mensyaratkan kondisi
prima itu.
Ketika seorang teman memberi komentar atas latihan itu,
dengan mengatakan bahwa mungkin lebih baik jika latihan itu
tidak tertuju semata pada usaha penyembuhan dan penyehatan
badan, melainkan "penyembahan" pada yang Ilahiah, artinya
segenap unsur dalam jaringan disentuh dengan rasa,
dibangunkan agar mereka serentak ikut dzikir memuji
kebesaran-Nya, Rendra setuju
"Itu lebih dahsyat," katanya
"Di dunia tarekat, latihan seperti itu memang ada. Di bawah
pimpinan kiai, jamaah dibimbing berdzikir qolbi, mengerahkan
segenap rasa sehingga praktis semua jaringan tubuh kita
bersujud, memuji dan bersyukur pada Allah. Semua berbisik,
mengakui betapa kecil mereka dan betapa mahabesar Allah.
Pada taraf pengerahan rasa yang prima, yang paling mutlak
(utuh berserah diri). Kita seperti telah menceburkan diri
dalam lautan cahaya Ilahi. Segenap pori-pori tertembus
cahaya cemerlang itu."
"Pengerahan rasa kita memang tertuju bukan pada usaha
penyehatan dan penyembuhan, melainkan pada penyembahan,"
kata seorang kiai. "Kalau tujuannya penyembuhan," kata kiai
itu lagi, "kita bisa saja sembuh berkat kemurahan Allah.
Tapi kita cuma sembuh, dan belum melakukan sembah. Kalau
tujuannya buat penyembahan, yakni buat berserah diri secara
mutlak kepada Allah, kita mendapatkan dua-duanya: sembuh
dapat, sembah juga dapat."
Rendra telah lama mengamalkan laku batin seperti itu. Ia
sendiri harus mengulang dan mengulang, sebagian alasannya
karena ada saja anak buahnya yang baru. Amalannya itu tentu
saja membawanya pada maqom yang jauh lebih tinggi daripada
anak buahnya yang paling senior sekali pun. Dengan begitu,
jika dilihat dari prosedur dalam dunia tarekat, mungkin
Rendra sudah sampai pada maqom tertinggi: ia sudah bisa
langsung mencebur dan larut, menyatu dalam cahaya Ilahi.
Pencarian Rendra lebih jauh dalam Islam (beraudensi dengan
Tuhan di Tanah Suci, Mekah, ketika dua kali munggah kaji
itu) mungkin merupakan salah satu seri lakon "Manunggaling
Rendra dengan Gusti" dalam bentuk lain, selain lakon "Dewa
Ruci" yang kita kenal itu.
Laku batin yang ditempuh Rendra sebenarnya tidak sangat unik
dalam dunia sastra. Warna mistisisme dalam sastra seperti
itu tidak khas milik Rendra. Artinya, dalam berbagai karya
sastra lain, gejala yang sama juga ditemukan.
Hal yang perlu diungkap, dirangkai dan dijelaskan hingga
kita memperoleh gambaran tentang kehadiran mistisisme (di
Islam disebut sufisme) dalam sastra ialah, getaran jiwa
macam apa yang menggerakkan para sastrawan (novelis,
penyair, dramawan) merambah dunia batin yang tak kasat mata
dan menghadirkan corak pengalaman batin seperti itu pada
para pembacanya?
Dugaan saya, (ini bisa saja salah), bahwa kecenderungan itu
merupakan sebuah usaha untuk menukik jauh dalam proses
pencarian makna hidup yang lebih hakiki. Kehidupan ini tak
sekadar sebagaimana nampaknya, seperti kata Robert K.
Merton. Hakikat harus ditemukan melalui usaha terus-menerus
untuk menyelam dalam dan terbang tinggi, intens dan total;
barangkali seperti cerminan hidup Mas Danarto, Sutardji,
Chairil Anwar, atau Taufiq Ismail. Puncak perjalanan rohani
seperti itu berupa penyerahan diri secara utuh, dan mutlak
kepada dzat Ilahi.
Penyair sufi wanita, Rabiah Al Adawiah dari Basrah yang
kondang itu, merupakan contoh mengenai totalitas penyerahan
seorang hamba pada Tuhannya, Allah yang Maha Murah. Segenap
geraknya, juga tiap tarikan napasnya, merupakan gambaran
penyerahan itu. Ia telah tenggelam di dalam cinta Ilahi. Dan
seperti layaknya cinta terhadap sesuatu yang lain, yang
bendawi sifatnya, cinta Ilahi ini pun membuat mabok. Tak ada
yang terasa getarnya, tak ada yang terdengar suaranya,
selain getar dan suara Ilahiah itu sendiri. Ia berkata dalam
sajaknya:
Ketika kudengar suara azan
Yang kudengar hanyalah panggilan kiamat
Ketika kulihat salju
Yang kuingat ialah bulu beterbangan
Ketika kulihat belalang
Yang teringat hanyalah hari perhitungan
Baginya, hidup tak lagi diwarnai pamrih atau kepentingan apa
pun selain buat penyerahan diri. Ia bahkan juga bersumpah,
bahwa jika ia beribadah semata karena takut siksaan neraka,
lebih baik ia dibakar di api neraka itu. Ia beribadah tidak
karena mengharap hadiah surga. Jika terbetik dalam batinnya
itikad seperti itu, ia bersumpah, lebih baik ia dicampakkan
jauh-jauh dari surga. Ibadah ya ibadah: ini dilakukan demi
ketulusan cinta, untuk berserah, untuk menyatu, manunggal
dalam rasa dan karsa, dengan Allah.
Dalam sastra Jawa(?) yang mengambil bentuk pertunjukan
wayang kita temukan lakon perjalanan mistik seorang Bima
ketika oleh Pandita Durna, sang guru, ia disuruh menemukan
"banyu suci perwita sari" (air kehidupan), di dalam laut.
Seperti disebutkan oleh Sri Mulyono, lakon "Manunggaling
Bima dengan Dewa Ruci" secara simbolis menjelaskan bahwa
dalam hidup, orang harus punya guru (Bima berguru pada
Durna). Dan bahwa seorang murid harus patuh, taat tanpa
bertanya dan tanpa ragu-ragu dalam melaksanakan ajaran sang
guru. (Etika Timur nampaknya menganggap Guru itu pasti benar
dan tak boleh dibantah. Lain dari etika dalam dunia
pendidikan Barat).
Bima menghancurkan hutan Tebrasara dan menyingkirkan segenap
penghalang di jalan. Bima juga meruwat Dewa Bayu dan Dewa
Indra yang muncul sebagai dua raksasa. Tindakan ini dinilai
sebagai sejenis amal saleh. Kemudian Bima terjun ke tengah
samodra (tanpa ragu melaksanakan perintah guru),
melambangkan terjunnya seorang murid dalam merambah ilmu
makrifat. Di dasar samodra itu Bima membunuh seekor naga
raksasa, simbol dari kemampuan Bima menahan dan
mengendalikan segenap nafsu dan hasrat meraih kenikmatan
duniawi yang ada dalam dirinya.
Orang bisa memberi corak tafsir lain atas lakon Dewa Ruci
itu. Tapi apa pun kata orang, satu hal nampak pasti bahwa
pertemuan Bima dengan Dewa Ruci (bentuk miniatur dari
dirinya sendiri) itu, melambangkan bahwa di dalam dunia
kesufian, sejauh-jauh orang merambah alam roh yang gaib itu,
ia sebenarnya tidak akan sampai ke mana-mana. Dengan kata
lain, seperti pernah dikatakan dalam salah satu tulisan Mas
Danarto, orang bertualang jauh hanya untuk sampai pada
dirinya sendiri. Ini tentu saja tidak begitu aneh karena
medan laga pergaulan kesufian terbatas dalam jagat kecil
kita sendiri. Perlombaan dalam hal itu, jika ada, ialah
perlombaan melawan dirinya sendiri.
Maka tak mengherankan juga bila kemudian corak pengalaman
rohaniah yang diperoleh seseorang dalam perjalanan batin
seperti itu bersifat khas, unik, dan mempribadi. Jika
tataran telah sampai, Allah berkenan membukakan hijab
(tabir) yang menutup segenap rahasia, dan kini mata (hati)
itu diperkenankan melihat apa yang tak nampak oleh mata
wadak. Keunikan seperti itu tak terjelaskan. Nalar tidak
mampu menggapainya. Oleh karena itu, hal-hal yang sangat
pribadi seperti ini biasanya tak usah diceritakan pada orang
lain. Kiai biasanya menyarankan agar itu tetap disimpan
baik-baik untuk diri sendiri. Salah satu alasannya, mungkin,
agar orang tak kemudian merasa sombong karena telah berhasil
mencapai tataran itu di dalam perjalanan rohaniahnya .
Kata "mencapai,' itu sendiri sebenarnya tidak begitu tepat,
karena apa sebenarnya yang bisa kita capai, selain bahwa itu
semua semata karena kemurahan Allah? Kita, dengan kata lain,
tak pernah mencapai apa-apa. Bahkan proses "mystical union"
itu sendiri (curigo manjing warongko, warongko manjing
curiga, gambaran mengenai keris yang menyatu ke dalam
rangkanya --atau jumbuhing kawulo Gusti), sebenarnya juga
bukan sebuah achievement, melainkan hadiah dari Yang Maha
Murah.
Etika seperti ini hanya berarti untuk sekali lagi
mengingatkan bahwa status kita sebagai hamba sebenarnya
lemah, tak berdaya, seperti tercermin dalam prinsip Jawa:
kita ini bukan siapa-siapa, tak punya apa-apa, dan tak bisa
apa-apa. Serupa dengan la khawla wala quata illa billah itu.
Di dalam serat Wulang Reh, karya "kasusastran" Jawa (dalam
bentuk syair) yang ditulis oleh Kanjeng Sunan Paku Buono IV,
terdapat juga ajaran untuk hidup secara asketik, dengan mana
usaha menuju kasampurnaning urip (kesempurnaan hidup) dan
mendekat Yang Moho Widi (Allah Yang Maha Kuasa) bisa
dicapai. Dalam tembang Kinanthi ajaran itu bertutur:
Pada gulangen ing kalbu
ing sasmita amrih lantip
aja pijer mangan nendra
kaprawiran den kaesti
pesunen sarira nira
sudanen dhahar lan guling
(
Intinya, orang harus melatih kepekaan hati
agar tajam menangkap gejala dan tanda-tanda.
Orang pun tak boleh mengumbar nafsu makan
serta tidur).
Di dalam dunia tarekat pun "laku" batin seperti ini juga
ada. Praktek "riadloh" (intinya latihan untuk hidup lebih
prihatin, berupa mengurangi tidur, mengurangi makan, atau
puasa, dan hanya makan umbi-umbian saat berbuka), merupakan
bagian dari corak perjalanan batin yang panjang, yang harus
ditempuh seorang murid yang menempuh jalan sufi
Jalalluddin Rumi, seperti diterjemahkan Taufiq Ismail,
menggambarkan kemurahan Allah dalam sajaknya yang bagus.
Intinya, Nabi Musa mendengar seorang gembala yang berdoa,
menanyakan di mana Ia (Allah) tinggal. Ia (si gembala) itu
ingin menjadi kacung-Nya. Ia ingin membersihkan sandal-Nya,
serta menyisir rambut-Nya.
Mendengar doa itu Musa marah. Anak itu dianggap tidak sopan.
Kata-kata seperti itu dianggap tidak layak untuk diucapkan
pada Allah. Dan anak itu--yang merasa sangat malu--lari
pontang-panting dan menyobek-nyobek bajunya. Kabur dia.
Allah menegur Musa. Nabi itu, yang tugasnya --seperti
nabi-nabi lain-- mendekatkan hamba-hamba pada Allah,justru
telah menjauhkan mereka dari-Nya.
Aku tidak perlu puji-puji itu, kata Allah
Karena Aku terlampau tinggi
Hati
yang mengucapkannya itu yang perlu
Aku tidak perlu kata-kata indah
Aku perlu hati penuh perasaan
Macam-macam cara manusia
Menunjukkan cara pengabdian mereka padaKu
Asal pengabdian itu tulus dan ikilas
Aku terima
Aku terima ...
Saya terpesona membaca sajak itu. Saya merasa dihadapkan
pada kenyataan bahwa mungkin saja gambaran kita tentang
Allah selama ini keliru belaka. Bahwa bahkan seorang nabi
pun bisa salah persepsi seperti itu, jelas akan lebih
mempertegas betapa lebih besar kemungkinan salah kita
menilai hakikat Allah.
Rumi dan juga Taufiq Ismail, yang menerjemahkannya, bukan
sekadar penulis dan penerjemah yang bisa secara obyektif
bicara mengenai kesufian. Mereka, lebih dari itu, juga
orang-orang yang mencoba sendiri mengalami hidup seperti itu
secara intens, dan sungguh-sungguh. Sajak ini, dengan kata
lain, bukan sekadar cerminan kemampuan intelektual sang
penulis, melainkan juga potret pergulatan batin mereka.
Jarang para da'i (guru dakwah) mampu menggugah rasa haru dan
menggebrak kesadaran kita seperti itu. Dalam hidup
keseharian kita, cara orang menyampaikan ajaran agama
kelewat normatif, dipagari patokan-patokan yang kaku dan
seolah tak ada kompromi, tak ada alternatif. Tafsir tentang
ajaran seolah menjadi sesuatu yang pasti.
Tapi ungkapan seorang penyair yang sudah jauh menyelam ke
dasar samodra hakikat, mampu mengantarkan kita pada
kesadaran bahwa inti dari segala inti pemujaan bukan
keindahan ornamen dan segenap saji-sajian, bukan pula warna
jubah serta surban dan jilbab yang rapat. Pujian kita akan
sampai jika kita sertai dengan ketulusan. Ikhlas dan tulus
merupakan "pesawat" paling canggih yang mengantarkan kita ke
singgasana Sang Raja Diraja.
Barangkali hal ini juga bisa menjadi ilustrasi betapa
manusia tak dibedakan dari sudut pandai-bodohnya,
kaya-miskinnya, tinggi-rendah status sosialnya, melainkan
pada tingkat iman dan ketulusan cintanya pada pusat samodra
Yang Maha Kasih itu.
Sajak ini merupakan bagian dari pergulatan spiritual Rumi,
penyair sufi kita, yang gigih mencari makna lebih hakiki
dalam pola penyembahan seorang hamba terhadap Tuhannya. Dari
sajak Rumi ini kita jadi tahu bahwa sebenarnya Tuhan tidak
galak sebagaimana gambaran yang kita peroleh dari ceramah
dan khotbah-khotbah di sekitar kita selama ini. Tuhan,
dengan kata lain, juga mesem, penuh pengertian, penuh
Kebapakan dalam memahami keterbatasan para hamba-hambaNya.
Pencarian hakikat seperti ini nampaknya terus berlangsung
dari zaman ke zaman.
Para penyair memang berhadapan dengan
kesulitan dan sejumlah keterbatasan yang khas milik zaman
mereka. Penyair biasa mungkin sudah larut diterpa ombak
zaman, dan koit karenanya. Artinya, mungkin mereka berkarya
ala kadarnya. Tapi mereka yang memiliki kecenderungan
melawan tantangan dan bosan terhadap hal-hal yang cuma biasa
saja dalam hidup keseharian kita akan terus menyelam dan
menyelam dalam untuk keluar dengan renungan yang tidak
biasa.
Sejak dekade 1970-an kita bahkan menyaksikan sejenis
gelombang kesungguhan pada sejumlah penyair untuk tidak
sekadar menampilkan karya-karya yang sufistik sifatnya,
melainkan juga serius belajar (dan mungkin juga menempuh
laku batin) kesufian itu sendiri. Tokoh seperti Al Mukarom
Emha Ainun Nadjib, Abdul Hadi WM, Mas Danarto, Sutardji
Calzeum Bachri, Kuntowijoyo, Taufiq Ismail, Hamid Jabar, dan
lain-lain, bisa disebut sebagai sedikit contoh. Selain
Rabiah Al Adawiah, Bima dan mungkin juga Rendra, Emha
nampaknya masuk ke dalam deretan orang-orang yang sudah
"sampai", sudah "menemukan" dalam pencariannya. Buktinya ia
sering mengaku bahwa jika ia selesai mengerjakan sesuatu,
pada hakikatnya bukan dia yang mengerjakan. Ia hanya
lantaran.
Sumber :
Kang Sejo Melihat Tuhan
Mohammad Sobary
Cetakan ketiga: Juli 1995
Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama