Batas Dogma

Batas Dogma


Ilustrasi Sultan Mahmud yang Agung. Sumber: disini


Pada suatu hari, Sultan Mahmud yang Agung berada dijalan di Ghazna, ibu kota negerinya.
Dilihatnya seorang kuli mengangkut beban berat, yakni sebungkah batu yang didukung di punggungnya. 

Karena rasa kasihan terhadap kuli itu, Mahmud tidak bisa menahan perasaannya, katanya memerintah:   "Jatuhkan batu itu, kuli."
Perintah itupun langsung dilaksanakan.

Batu tersebut berada di tengah jalan, merupakan gangguan bagi siapapun yang ingin lewat, bertahun-tahun lamanya.
Akhirnya sejumlah warga memohon raja agar memerintahkan orang memindahkan batu itu.   Namun Mahmud, menyadari akan kebijaksanaan administratif, terpaksa menjawab:

"Hal yang sudah dilaksanakan berdasarkan perintah, tidak bisa dibatalkan oleh perintah yang sama derajatnya. Sebab kalau demikian, rakyat akan beranggapan bahwa perintah raja hanya berdasarkan kehendak sesaat saja. Jadi, biar saja batu itu di situ."

Oleh karenanya batu tersebut tetap berada di tengah jalan itu selama masa pemerintahan Mahmud. Bahkan ketika ia meninggal batu itu tidak dipindahkan, karena orang-orang masih menghormati perintah raja.

Kisah itu sangat terkenal.
Orang-orang mengambil maknanya berdasarkan salah satu dari tiga tafsiran, masing-masing sesuai dengan kemampuannya.

Mereka yang menentang kepenguasaan beranggapan bahwa kisah itu merupakan bukti ketololan penguasa yang berusaha mempertahankan kekuasaannya.   
Mereka yang menghormati kekuasaan merasa hormat terhadap perintah, betapapun tidak menyenangkannya.  
Mereka yang bisa menangkap maksudnya yang benar, bisa memahami nasehat yang tersirat.

Dengan menyuruh menjatuhkan batu di tempat yang tidak semestinya sehingga merupakan gangguan, dan kemudian membiarkannya berada disana, Mahmud mengajar kita agar mematuhi penguasa duniawi dan sekaligus menyadarkan kita bahwa siapapun yang memerintah berdasarkan dogma kaku, tidak akan sepenuhnya berguna bagi kemanusiaan. Mereka yang menangkap makna ini akan mencapai taraf pencari kebenaran, dan akan bisa menambah jalan menuju Kebenaran.



Catatan:
Kisah ini muncul dalam karya klasik yang terkenal, Akhlaq-i-Mohsini 'Akhlak Dermawan,' ciptaan Hasan Waiz Kashifi; hanya saja tanpa tafsir seperti yang ada dalam versi ini.   Versi ini merupakan bagian ajaran syeh Sufi Daud dari Qandahar, yang meninggal tahun 1965. 


Kisah ini merupakan pengungkapan yang bagus tentang pelbagai taraf pemahaman terhadap tindakan; masing-masing orang akan menilainya berdasarkan pendidikannya. Metode penggambaran tak langsung yang dipergunakan Sultan Mahmud itu dianut pada Sufi, dan bisa diringkaskan dalam ungkapan, "Bicaralah kepada dinding, agar pintu bisa mendengar."




Sumber :
Kisah-kisah Sufi
Kumpulan kisah nasehat para guru sufi selama seribu tahun yang lampau
Terjemahan Sapardi Djoko Damono
Penerbit Pustaka Firdaus, 1984.
Read more ...

Dasar Teori Tentang Majnun

Dasar Teori Tentang Majnun

Ilustrasi Saridin Majnun.  Sumber: di sini


Memang bukan Saridin namanya kalau tidak gila. Dan bukan gilanya Saridin kalau definisinya sama dengan definisi Anda tentang gila. Wong sama saya saja Saridin sering bertengkar soal mana yang gila dan mana yang tidak kok. Padahal saya juga agak gila. Apalagi sama Anda. Anda kan jelas-jelas waras.

Misalnya di jaman Demak bagian akhir-akhir itu saya menyatakan bersyukur bahwa dakwah para Wali semakin produktif. Sunan Ampel yang berfungsi sebagai semacam Ketua MPR, Sunan Kudus sebagai Menko Kesra, Sunan Bonang sebagai Pangab, atau Sunan Kalijaga sebagai Mendikbud, benar-benar menjalankan suatu managemen sejarah dan strategi sosialisasi nilai dengan metoda-metoda yang canggih dan efektif. Bukan hanya komunitas-komunitas Islam semakin menyebar dan meluas, tapi juga mutu kedalaman orang beribadah semakin menggembirakan.

Tapi Saridin menertawakan saya. Dan bagi saya sangat menyakitkan karena tertawanya dilambari aji-aji kedigdayaan batin: begitu suara tertawanya lolos dari terowongan tenggorokan Saridin, pepohonan bergetar-getar, burung-burung beterbangan menjauh, awan-awan dan mega melarikan diri sehingga matahari gemetar tertinggal sendirian di langit.

"Jangan sok kamu Din!" saya berteriak.
Saridin menghentikan tertawanya. Ia menjawab. "Bersyukur ya bersyukur, tapi kalau saya, juga berprihatin."

"Kenapa?" tanya saya.
"Diantara orang-orang yang beribadah kepada Tuhan itu banyak yang majnun!"

"Gila?"
"Ya, Majnun itu artinya ya gila, Majnun!"

"Majnun gimana?"

"Pengertian kita tentang junun atau kegilaan kayaknya berbeda. Bagi saya gitu itu gila, tapi bagi kamu tidak."

"Gitu itu gimana yang kamu maksud?"
 "Orang berdiri khusyuk dan bersedekap. Matanya konsentrasi ke kiblat. Mulutnya mengucapkan hanya kepada-Mu aku menyembah, dan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan....", tiba-tiba tertawanya meledak lagi, sehingga tanah yang saya pijak terguncang, padahal tidak demikian.

"Orang itu tidak hanya kepada Tuhan menyembah. Wong jelas tiap hari dia menyembah para priyayi, para priyagung, para Tumenggung atau Adipati. Minta tolongnya juga kebanyakan tidak kepada Tuhan. Ia lebih banyak tergantung pada atasannya dibanding kepada Tuhan. 

Meskipun dia tidak menyatakan, tapi terbukti jelas dalam perilaku dia bahwa yang nomor satu bagi hidupnya bukan Tuhan, melainkan penguasa-penguasa lokal dalam hidupnya. Entah penguasa politik, atau penguasa ekonomi. Itu namanya majnun

Tuhan kok dibohongi. Dan caranya membohongi Tuhan dengan kekhusyukan lagi! Kalau otaknya sehat, hal begitu tidak terjadi. Hanya otak gila saja yang memungkinkan hal itu terjadi....."

Saya melengos. "Ah, kamu ini terlalu idealis. Normal dong kalau manusia punya kelemahan yang demikian. Mana ada manusia yang sempurna. Orang kan boleh berproses. Orang berhak belajar secara bertahap. Pengabdiannya kepada Tuhan diolah dari belum utuh menjadi utuh pada akhirnya. Konsistensi seseorang atas kata-kata yang diucapkannya kan bertahap, tidak bisa langsung seratus persen!"



Sumber :
Artikel Emha Ainun Najib (Cak Nun)
Read more ...

Daftar Tulisan Sufisme

Read more ...

Sufisme


SUFISME

 

Ilustrasi Sufisme  

PENGANTAR SUFISME

 

Definisi Sufisme menurut Mr. G.B.J Hiltermann dan Prof.Dr.P.Van De Woestijne, adalah paham mistik dalam agama Islam sebagaimana Taoisme di Tiongkok dan ajaran Yoga di India, sedangkan menurut Dr. C.B. Van Haeringen sufisme adalah aliran kerohanian mistik dalam agama Islam. (Sumber : wikipedia, sufisme)

Sufi, dalam islam adalah istilah untuk mereka yang mendalami ilmu tasawwuf, yaitu ilmu yang mendalami ketakwaan kepada Allah swt. Ilmu yang dipelajari namanya tasawuf, orang yang mengamalkannya namanya salik, perjalanannya namanya suluk, jalan yang dilaluinya namanya thoriqoh (di indonesia dikenal tarekat, dijawa dikenal tirakat) -- memiliki akar tujuan yang sama, tetapi dalam perjalanannya ketiga kata ini diartikan berbeda.

Di agama Budha, dikenal sebagai tahap arupadatu, sedangkan di agama Kristen dikenal sebagai biarawan/ biarawati, sebagai cara menjalani kehendak Tuhan secara penuh dan memerdekakan diri dari budak kesenangan dunia.

Istilah sufi -- orang suci -- dalam perjalanannya dipakai secara luas, bukan saja untuk tokoh agama dari agama tertentu, tetapi bagi seseorang yang secara spiritual dan rohaniah telah matang dan yang kehidupannya tidak lagi membutuhkan dan melekat kepada dunia dan segala isinya, kecuali untuk kebutuhan dasarnya saja.

Sufi dalam konteks ini diamalkan sebagai cara sejati untuk memurnikan jiwa dan hati, mendekatkan diri kepada Tuhan dan mendekatkan diri kepada SorgaNya.



TOKOH-TOKOH SUFI


Tokoh-tokoh Sufisme, yang terkenal antara lain : Al Hallaj, Jalaluddin Rumi, Abdul Qadir jaelani, Abu Nawas, Syekh SIti Jenar, dan masih banyak lagi.

Saya pribadi lebih sepakat dengan pendapat bahwa sufisme adalah jalan menuju kemurnian batin, maka dalam Page ini, tulisan-tulisan yang saya masukkan tidak melulu yang 'nuansa agamis'-nya kental, tapi yang mengangkat tema budaya, terkait moral, estetika, sosial, kemanusiaan, dalam 'penyajian lebih cair' juga saya masukkan sebagai tulisan  sufisme. Maka beberapa karya Anthony de Mello Sj, Mohammad Sobary, Guyonan Emha Ainun Najib, Humor Gus Dur, dll, di sini.

Bagi yang berminat sejenak menapaki jalan sufi, silahkan langsung meluncur ke:

DAFTAR TULISAN SUFISME


dan selamat menikmati, menyerap makna, dan mengambil hikmah Sufisme bagi kehidupan ...


Salam Hangat,



Thomas Pras

Read more ...

Anjing, Tongkat dan Sufi

Anjing, Tongkat dan Sufi


ilustrasi Anjing, Tongkat & Sufi.  Sumber: di sini


Pada suatu hari seorang yang berpakaian sebagai Sufi berjalan-jalan;
ia melihat seekor anjing di jalan; ia pun memukulnya dengan tongkat.
Si Anjing, sambil melolong kesakitan, berlari menuju Abu Said, Sang Ulama.

Anjing itupun menjatuhkan dirinya dekat kaki Sang Ulama sambil memegang moncongnya yang terluka;
ia mohon keadilan karena telah diperlakukan secara kejam oleh sufi itu.
Abu Said mempertemukan keduanya.

Kepada Sufi dikatakannya,
"O Saudara yang seenaknya, kenapa kau perlakukan binatang dungu ini sekasar itu! Lihat akibatperbuatanmu!"

Sang Sufi menjawab, 
"itu sama sekali bukan salahku, tapi salahnya. Saya tidak memukulnya tanpa alasan, saya memukulnya karena ia mengotori jubahku."

Tetapi Si Anjing tetap menyampaikan keluhannya.

Kemudian Sang Bijaksana berbicara kepada Anjing,
"Dari pada menunggu Ganti Rugi Akhirat, baiklah saya berikan ganti rugi bagi rasa sakitmu itu."

Si Anjing berkata,  
"Sang Agung dan Bijaksana! Ketika saya melihat orang ini berpakaian sebagai Sufi, saya berfikir bahwa ia tak akan menyakiti saya. 
Seandainya saya melihat orang yang berpakaian biasa saja, tentunya akan saya berikan keleluasaan padanya untuk lewat. 
Kesalahan utama saya adalah menganggap bahwa pakaian orang suci itu menandakan keselamatan. Apabila Tuan ingin menghukumnya, rampaslah pakaian Sufinya itu. 
Campakkan dia dari pakaian Kaum Terpilih Pencari Kebenaran ..."

Anjing itu telah mencapai Tingkatan tertentu dalam Jalan Kebenaran. Sungguh keliru anggapan bahwa seorang manusia nisaya iebih baik daripadanya.


Catatan
'Pengondisian' yang digambarkan dalam kisah ini dengan Jubah Darwis sering disalahartikan oleh kaum esoteris dan agamawan dari berbagi kalangan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan pengalaman atau nilai yang sesungguhnya.

Kisah ini, yang diambil dari karya Attar Divine Book (the Ilahi-Nama) beredar di kalangan para darwis dari "Jalan Kesalahan" (Path of Name), dan dianggap berasal dari Hamdun Si Pengelantang (Si Pemutih Kain), pada abad ke-19.





Sumber :
Kisah-kisah Sufi
Kumpulan kisah nasehat para guru sufi selama seribu tahun yang lampau
Terjemahan Sapardi Djoko Damono
Penerbit Pustaka Firdaus, 1984.
Read more ...

Thomas Aquinas Berhenti Menulis

Thomas Aquinas Berhenti Menulis

Ilustrasi Menulis. Sumber: di sini

Diceritakan bahwa Santo Thomas Aquinas, salah seorang teolog yang paling bijak di dunia, tiba-tiba berhenti menulis menjelang akhir hidupnya.

Waktu sekretarisnya -- Frater Reginald -- mengeluh bahwa karyanya belumlah selesai, Thomas Aquinas menjawab:
"Frater Reginald, ketika aku merayakan Misa beberapa bulan yang lalu, aku mengalami Yang Ilahi. Pada hari itu aku sama sekali kehilangan minat untuk menulis.Sebenarnya, semua yang telah kutulis tentang Allah bagiku tampaknya seperti jerami belaka"

 Memang seharusnya demikian jika seorang cendekiawan menjadi seorang mistik.
Ketika seorang mistik turun dari gunung, ia disongsong oleh seorang ateis yang berkata mencemooh:
"Apa yang kaubawa dari taman kebahagiaan yang kaukunjungi?"

Orang mistik itu menjawab: "Aku sungguh berniat mengisi jubahku dengan bunga-bunga. Dan bila kembali pada kawan-kawanku, aku bermaksud menghadiahi mereka beberapa kuntum bunga. Tetapi ketika aku di sana, keharuman taman itu membuatku mabuk, sehingga aku menanggalkan jubahku"

Para guru Zen mengatakan hal itu lebih padat dan tepat:
"Orang yang tahu, tidak banyak bicara. Orang yang banyak bicara, tidak tahu."


Sumber :
Burung Berkicau,
Anthony de Mello SJ,
Cetakan 7, 1994
Yayasan Cipta Loka Caraka.
Read more ...

Secangkir Teh

SECANGKIR TEH

 
 Ilustrasi Secangkir Teh.  Sumber: di sini


SEORANG GURU JEPANG, SEORANG DOSEN, DAN SECANGKIR TEH


Nan-in, seorang guru Jepang selama masa Meiji (1868-1912), menerima seorang dosen universitas yang mencari tahu tentang Zen.

Nan-in menghidangkan teh. Ia menuangkan teh itu ke dalam cangkir tamunya hingga penuh,
dan masih terus saja menuang.


SECANGKIR TEH DAN SYARAT AWAL PEMBELAJARAN


Dosen tersebut memandang tumpahan teh hingga akhirnya ia tidak bisa bertahan untuk berdiam diri.

"Sudah penuh. Tidak muat lagi!"


"Sama seperti cangkir ini," Nan-in mengatakan,
"Anda penuh dengan gagasan dan spekulasi diri anda sendiri.
Bagaimana saya bisa menunjukkan anda Zen jika anda tidak mengosongkan nya terlebih dahulu?"



Sumber :
Daging Zen Tulang Zen
Bunga Rampai Karya Tulis Pra-Zen dan Zen
Dikumpulkan oleh: Paul Reps
Edisi Keenam Oktober 1996
Yayasan Penerbit Karaniya
Read more ...

Rendra, Adawiah dan Bima

Rendra, Adawiah dan Bima




Ketika pertama kali suhu Bangau Putih, Subur Rahardja, datang ke Bengkel Teater, pendekar itu heran, mengapa Rendra mengajarkan anak buahnya latihan tenaga dalam.

"Tenaga dalam apa?" Rendra ganti heran.

Ia memang tak bermaksud memberikan latihan tenaga dalam seperti itu. Tapi di Bengkel Teater memang ada latihan khusus untuk kembali membangkitkan naluri-naluri primitif yang cenderung melemah atau mungkin sudah mati, dalam diri manusia modern.   Di tengah hujan lebat, pada malam hari yang gelap misalnya, segenap anggota Bengkel Teater harus menempuh jarak tertentu. Sambil telanjang kaki (tak peduli menabrak batu, duri atau beling) mereka tempuh kegelapan itu. Insting dan segenap naluri untuk bertahan hidup merupakan "obor" satu-satunya yang menerangi kegelapan itu.

Ini salah satu contoh olah batin anggota Bengkel yang diberikan oleh sang mahatma resi Rendra kepada anak buahnya di luar "studio". Di dalam "studio" ada lagi corak laku batin yang lain. Namanya nggrayang rogo. Maksudnya menyentuh segenap unsur jaringan raga kita dengan rasa. Bagian-bagian dalam jaringan itu, sampai pada titik yang paling halus sekali pun (Rendra fasih seperti dokter menyebutkan nama-namanya) disentuh dengan rasa untuk suatu program revitalisasi. Jaringan yang loyo "diurut" dengan rasa. Dan dengan itu bangkit segar bugar kembali.   Prinsipnya latihan ini buat kepentingan "fitness." Pemain drama harus tetap prima. Apalagi Rendra memang sering mementaskan lakon-lakon panjang yang mensyaratkan kondisi prima itu.

Ketika seorang teman memberi komentar atas latihan itu, dengan mengatakan bahwa mungkin lebih baik jika latihan itu tidak tertuju semata pada usaha penyembuhan dan penyehatan badan, melainkan "penyembahan" pada yang Ilahiah, artinya segenap unsur dalam jaringan disentuh dengan rasa, dibangunkan agar mereka serentak ikut dzikir memuji kebesaran-Nya, Rendra setuju   "Itu lebih dahsyat," katanya   "Di dunia tarekat, latihan seperti itu memang ada. Di bawah pimpinan kiai, jamaah dibimbing berdzikir qolbi, mengerahkan segenap rasa sehingga praktis semua jaringan tubuh kita bersujud, memuji dan bersyukur pada Allah. Semua berbisik, mengakui betapa kecil mereka dan betapa mahabesar Allah.

Pada taraf pengerahan rasa yang prima, yang paling mutlak (utuh berserah diri). Kita seperti telah menceburkan diri dalam lautan cahaya Ilahi. Segenap pori-pori tertembus cahaya cemerlang itu."   "Pengerahan rasa kita memang tertuju bukan pada usaha penyehatan dan penyembuhan, melainkan pada penyembahan," kata seorang kiai. "Kalau tujuannya penyembuhan," kata kiai itu lagi, "kita bisa saja sembuh berkat kemurahan Allah. Tapi kita cuma sembuh, dan belum melakukan sembah. Kalau tujuannya buat penyembahan, yakni buat berserah diri secara mutlak kepada Allah, kita mendapatkan dua-duanya: sembuh dapat, sembah juga dapat."

Rendra telah lama mengamalkan laku batin seperti itu. Ia sendiri harus mengulang dan mengulang, sebagian alasannya karena ada saja anak buahnya yang baru. Amalannya itu tentu saja membawanya pada maqom yang jauh lebih tinggi daripada anak buahnya yang paling senior sekali pun. Dengan begitu, jika dilihat dari prosedur dalam dunia tarekat, mungkin Rendra sudah sampai pada maqom tertinggi: ia sudah bisa langsung mencebur dan larut, menyatu dalam cahaya Ilahi.

Pencarian Rendra lebih jauh dalam Islam (beraudensi dengan Tuhan di Tanah Suci, Mekah, ketika dua kali munggah kaji itu) mungkin merupakan salah satu seri lakon "Manunggaling Rendra dengan Gusti" dalam bentuk lain, selain lakon "Dewa Ruci" yang kita kenal itu.   Laku batin yang ditempuh Rendra sebenarnya tidak sangat unik dalam dunia sastra. Warna mistisisme dalam sastra seperti itu tidak khas milik Rendra. Artinya, dalam berbagai karya sastra lain, gejala yang sama juga ditemukan.   Hal yang perlu diungkap, dirangkai dan dijelaskan hingga kita memperoleh gambaran tentang kehadiran mistisisme (di Islam disebut sufisme) dalam sastra ialah, getaran jiwa macam apa yang menggerakkan para sastrawan (novelis, penyair, dramawan) merambah dunia batin yang tak kasat mata dan menghadirkan corak pengalaman batin seperti itu pada para pembacanya?

Dugaan saya, (ini bisa saja salah), bahwa kecenderungan itu merupakan sebuah usaha untuk menukik jauh dalam proses pencarian makna hidup yang lebih hakiki. Kehidupan ini tak sekadar sebagaimana nampaknya, seperti kata Robert K. Merton. Hakikat harus ditemukan melalui usaha terus-menerus untuk menyelam dalam dan terbang tinggi, intens dan total; barangkali seperti cerminan hidup Mas Danarto, Sutardji, Chairil Anwar, atau Taufiq Ismail. Puncak perjalanan rohani seperti itu berupa penyerahan diri secara utuh, dan mutlak kepada dzat Ilahi.

Penyair sufi wanita, Rabiah Al Adawiah dari Basrah yang kondang itu, merupakan contoh mengenai totalitas penyerahan seorang hamba pada Tuhannya, Allah yang Maha Murah. Segenap geraknya, juga tiap tarikan napasnya, merupakan gambaran penyerahan itu. Ia telah tenggelam di dalam cinta Ilahi. Dan seperti layaknya cinta terhadap sesuatu yang lain, yang bendawi sifatnya, cinta Ilahi ini pun membuat mabok. Tak ada yang terasa getarnya, tak ada yang terdengar suaranya, selain getar dan suara Ilahiah itu sendiri. Ia berkata dalam sajaknya:

Ketika kudengar suara azan Yang kudengar hanyalah panggilan kiamat 
Ketika kulihat salju Yang kuingat ialah bulu beterbangan 
Ketika kulihat belalang Yang teringat hanyalah hari perhitungan

Baginya, hidup tak lagi diwarnai pamrih atau kepentingan apa pun selain buat penyerahan diri. Ia bahkan juga bersumpah, bahwa jika ia beribadah semata karena takut siksaan neraka, lebih baik ia dibakar di api neraka itu. Ia beribadah tidak karena mengharap hadiah surga. Jika terbetik dalam batinnya itikad seperti itu, ia bersumpah, lebih baik ia dicampakkan jauh-jauh dari surga. Ibadah ya ibadah: ini dilakukan demi ketulusan cinta, untuk berserah, untuk menyatu, manunggal dalam rasa dan karsa, dengan Allah.

Dalam sastra Jawa(?) yang mengambil bentuk pertunjukan wayang kita temukan lakon perjalanan mistik seorang Bima ketika oleh Pandita Durna, sang guru, ia disuruh menemukan "banyu suci perwita sari" (air kehidupan), di dalam laut.   Seperti disebutkan oleh Sri Mulyono, lakon "Manunggaling Bima dengan Dewa Ruci" secara simbolis menjelaskan bahwa dalam hidup, orang harus punya guru (Bima berguru pada Durna). Dan bahwa seorang murid harus patuh, taat tanpa bertanya dan tanpa ragu-ragu dalam melaksanakan ajaran sang guru. (Etika Timur nampaknya menganggap Guru itu pasti benar dan tak boleh dibantah. Lain dari etika dalam dunia pendidikan Barat).

Bima menghancurkan hutan Tebrasara dan menyingkirkan segenap penghalang di jalan. Bima juga meruwat Dewa Bayu dan Dewa Indra yang muncul sebagai dua raksasa. Tindakan ini dinilai sebagai sejenis amal saleh. Kemudian Bima terjun ke tengah samodra (tanpa ragu melaksanakan perintah guru), melambangkan terjunnya seorang murid dalam merambah ilmu makrifat. Di dasar samodra itu Bima membunuh seekor naga raksasa, simbol dari kemampuan Bima menahan dan mengendalikan segenap nafsu dan hasrat meraih kenikmatan duniawi yang ada dalam dirinya.   Orang bisa memberi corak tafsir lain atas lakon Dewa Ruci itu. Tapi apa pun kata orang, satu hal nampak pasti bahwa pertemuan Bima dengan Dewa Ruci (bentuk miniatur dari dirinya sendiri) itu, melambangkan bahwa di dalam dunia kesufian, sejauh-jauh orang merambah alam roh yang gaib itu, ia sebenarnya tidak akan sampai ke mana-mana. Dengan kata lain, seperti pernah dikatakan dalam salah satu tulisan Mas Danarto, orang bertualang jauh hanya untuk sampai pada dirinya sendiri. Ini tentu saja tidak begitu aneh karena medan laga pergaulan kesufian terbatas dalam jagat kecil kita sendiri. Perlombaan dalam hal itu, jika ada, ialah perlombaan melawan dirinya sendiri.

Maka tak mengherankan juga bila kemudian corak pengalaman rohaniah yang diperoleh seseorang dalam perjalanan batin seperti itu bersifat khas, unik, dan mempribadi. Jika tataran telah sampai, Allah berkenan membukakan hijab (tabir) yang menutup segenap rahasia, dan kini mata (hati) itu diperkenankan melihat apa yang tak nampak oleh mata wadak. Keunikan seperti itu tak terjelaskan. Nalar tidak mampu menggapainya. Oleh karena itu, hal-hal yang sangat pribadi seperti ini biasanya tak usah diceritakan pada orang lain. Kiai biasanya menyarankan agar itu tetap disimpan baik-baik untuk diri sendiri. Salah satu alasannya, mungkin, agar orang tak kemudian merasa sombong karena telah berhasil mencapai tataran itu di dalam perjalanan rohaniahnya .

Kata "mencapai,' itu sendiri sebenarnya tidak begitu tepat, karena apa sebenarnya yang bisa kita capai, selain bahwa itu semua semata karena kemurahan Allah? Kita, dengan kata lain, tak pernah mencapai apa-apa. Bahkan proses "mystical union" itu sendiri (curigo manjing warongko, warongko manjing curiga, gambaran mengenai keris yang menyatu ke dalam rangkanya --atau jumbuhing kawulo Gusti), sebenarnya juga bukan sebuah achievement, melainkan hadiah dari Yang Maha Murah.   Etika seperti ini hanya berarti untuk sekali lagi mengingatkan bahwa status kita sebagai hamba sebenarnya lemah, tak berdaya, seperti tercermin dalam prinsip Jawa: kita ini bukan siapa-siapa, tak punya apa-apa, dan tak bisa apa-apa. Serupa dengan la khawla wala quata illa billah itu.

Di dalam serat Wulang Reh, karya "kasusastran" Jawa (dalam bentuk syair) yang ditulis oleh Kanjeng Sunan Paku Buono IV, terdapat juga ajaran untuk hidup secara asketik, dengan mana usaha menuju kasampurnaning urip (kesempurnaan hidup) dan mendekat Yang Moho Widi (Allah Yang Maha Kuasa) bisa dicapai. Dalam tembang Kinanthi ajaran itu bertutur:

Pada gulangen ing kalbu ing sasmita amrih lantip aja pijer mangan nendra kaprawiran den kaesti pesunen sarira nira sudanen dhahar lan guling (Intinya, orang harus melatih kepekaan hati agar tajam menangkap gejala dan tanda-tanda. Orang pun tak boleh mengumbar nafsu makan serta tidur).

Di dalam dunia tarekat pun "laku" batin seperti ini juga ada. Praktek "riadloh" (intinya latihan untuk hidup lebih prihatin, berupa mengurangi tidur, mengurangi makan, atau puasa, dan hanya makan umbi-umbian saat berbuka), merupakan bagian dari corak perjalanan batin yang panjang, yang harus ditempuh seorang murid yang menempuh jalan sufi   Jalalluddin Rumi, seperti diterjemahkan Taufiq Ismail, menggambarkan kemurahan Allah dalam sajaknya yang bagus. Intinya, Nabi Musa mendengar seorang gembala yang berdoa, menanyakan di mana Ia (Allah) tinggal. Ia (si gembala) itu ingin menjadi kacung-Nya. Ia ingin membersihkan sandal-Nya, serta menyisir rambut-Nya.   Mendengar doa itu Musa marah. Anak itu dianggap tidak sopan. Kata-kata seperti itu dianggap tidak layak untuk diucapkan pada Allah. Dan anak itu--yang merasa sangat malu--lari pontang-panting dan menyobek-nyobek bajunya. Kabur dia.   Allah menegur Musa. Nabi itu, yang tugasnya --seperti nabi-nabi lain-- mendekatkan hamba-hamba pada Allah,justru telah menjauhkan mereka dari-Nya.

Aku tidak perlu puji-puji itu, kata Allah 
Karena Aku terlampau tinggi Hati 
yang mengucapkannya itu yang perlu 
Aku tidak perlu kata-kata indah 
Aku perlu hati penuh perasaan

Macam-macam cara manusia 
Menunjukkan cara pengabdian mereka padaKu 
Asal pengabdian itu tulus dan ikilas 
Aku terima 
Aku terima ...

Saya terpesona membaca sajak itu. Saya merasa dihadapkan pada kenyataan bahwa mungkin saja gambaran kita tentang Allah selama ini keliru belaka. Bahwa bahkan seorang nabi pun bisa salah persepsi seperti itu, jelas akan lebih mempertegas betapa lebih besar kemungkinan salah kita menilai hakikat Allah.   Rumi dan juga Taufiq Ismail, yang menerjemahkannya, bukan sekadar penulis dan penerjemah yang bisa secara obyektif bicara mengenai kesufian. Mereka, lebih dari itu, juga orang-orang yang mencoba sendiri mengalami hidup seperti itu secara intens, dan sungguh-sungguh. Sajak ini, dengan kata lain, bukan sekadar cerminan kemampuan intelektual sang penulis, melainkan juga potret pergulatan batin mereka.

Jarang para da'i (guru dakwah) mampu menggugah rasa haru dan menggebrak kesadaran kita seperti itu. Dalam hidup keseharian kita, cara orang menyampaikan ajaran agama kelewat normatif, dipagari patokan-patokan yang kaku dan seolah tak ada kompromi, tak ada alternatif. Tafsir tentang ajaran seolah menjadi sesuatu yang pasti.   Tapi ungkapan seorang penyair yang sudah jauh menyelam ke dasar samodra hakikat, mampu mengantarkan kita pada kesadaran bahwa inti dari segala inti pemujaan bukan keindahan ornamen dan segenap saji-sajian, bukan pula warna jubah serta surban dan jilbab yang rapat. Pujian kita akan sampai jika kita sertai dengan ketulusan. Ikhlas dan tulus merupakan "pesawat" paling canggih yang mengantarkan kita ke singgasana Sang Raja Diraja.

Barangkali hal ini juga bisa menjadi ilustrasi betapa manusia tak dibedakan dari sudut pandai-bodohnya, kaya-miskinnya, tinggi-rendah status sosialnya, melainkan pada tingkat iman dan ketulusan cintanya pada pusat samodra Yang Maha Kasih itu.   Sajak ini merupakan bagian dari pergulatan spiritual Rumi, penyair sufi kita, yang gigih mencari makna lebih hakiki dalam pola penyembahan seorang hamba terhadap Tuhannya. Dari sajak Rumi ini kita jadi tahu bahwa sebenarnya Tuhan tidak galak sebagaimana gambaran yang kita peroleh dari ceramah dan khotbah-khotbah di sekitar kita selama ini. Tuhan, dengan kata lain, juga mesem, penuh pengertian, penuh Kebapakan dalam memahami keterbatasan para hamba-hambaNya.   Pencarian hakikat seperti ini nampaknya terus berlangsung dari zaman ke zaman.

Para penyair memang berhadapan dengan kesulitan dan sejumlah keterbatasan yang khas milik zaman mereka. Penyair biasa mungkin sudah larut diterpa ombak zaman, dan koit karenanya. Artinya, mungkin mereka berkarya ala kadarnya. Tapi mereka yang memiliki kecenderungan melawan tantangan dan bosan terhadap hal-hal yang cuma biasa saja dalam hidup keseharian kita akan terus menyelam dan menyelam dalam untuk keluar dengan renungan yang tidak biasa.

Sejak dekade 1970-an kita bahkan menyaksikan sejenis gelombang kesungguhan pada sejumlah penyair untuk tidak sekadar menampilkan karya-karya yang sufistik sifatnya, melainkan juga serius belajar (dan mungkin juga menempuh laku batin) kesufian itu sendiri. Tokoh seperti Al Mukarom Emha Ainun Nadjib, Abdul Hadi WM, Mas Danarto, Sutardji Calzeum Bachri, Kuntowijoyo, Taufiq Ismail, Hamid Jabar, dan lain-lain, bisa disebut sebagai sedikit contoh. Selain Rabiah Al Adawiah, Bima dan mungkin juga Rendra, Emha nampaknya masuk ke dalam deretan orang-orang yang sudah "sampai", sudah "menemukan" dalam pencariannya. Buktinya ia sering mengaku bahwa jika ia selesai mengerjakan sesuatu, pada hakikatnya bukan dia yang mengerjakan. Ia hanya lantaran.



Sumber :
Kang Sejo Melihat Tuhan
Mohammad Sobary
Cetakan ketiga: Juli 1995
Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama
Read more ...

Kisah Api

Kisah Api



Pada zaman dahulu ada seorang yang merenungkan cara bekerjanya Alam, dan karena ketekunan dan percobaan- percobaannya, akhirnya ia menemukan bagaimana api diciptakan.

Orang itu bernama Nur.
Ia memutuskan untuk berkelana dari satu negeri ke lain negeri, menunjukkan kepada rakyat banyak tentang penemuannya.   Nur menyampaikan rahasianya itu kepada berbagai-bagai kelompok masyarakat. Beberapa di antaranya ada yang memanfaatkan pengetahuan itu. Yang lain mengusirnya, mengira bahwa ia mungkin berbahaya, sebelum mereka mempunyai waktu cukup untuk mengetahui betapa berharganya penemuan itu bagi mereka. Akhirnya, sekelompok orang yang menyaksikannya memamerkan cara pembuatan api menjadi begitu ketakutan sehingga mereka menangkapnya dan kemudian membunuhnya, yakin bahwa ia setan.

Abad demi abad berlalu.
Bangsa pertama yang belajar tentang api telah menyimpan rahasia itu untuk para pendeta, yang tetap berada dalam kekayaan dan kekuasaan, sementara rakyat kedinginan.
Bangsa kedua melupakan cara itu, dan malah memuja alat-alat untuk membuatnya.
Bangsa yang ketiga memuja patung yang menyerupai Nur, sebab ialah yang telah mengajarkan hal itu.
Yang keempat tetap menyimpan kisah api dalam kumpulan dongengnya: ada yang percaya, ada yang tidak.
Bangsa yang kelima benar-benar mempergunakan api, dan itu bisa menghangatkan mereka, menanak makanan mereka, dan mempergunakannya untuk membuat alat-alat yang berguna bagi mereka.


Setelah berpuluh-puluh tahun lamanya, seorang bijaksana dan beberapa pengikutnya mengadakan perjalanan melalui negeri-negeri bangsa-bangsa tadi. Para pengikut itu tercengang melihat bermacam-macamnya upacara yang dilakukan bangsa-bangsa itu; dan mereka pun berkata kepada gurunya,

"Tetapi semua kegiatan itu nyatanya berkaitan dengan pembuatan api, bukan yang lain. Kita harus mengubah mereka itu!"

Sang Guru menjawab, "Baiklah. Kita akan memulai lagi perjalanan ini. Pada akhir perjalanan nanti, mereka yang masih bertahan akan mengetahui masalah kebenarannya dan bagaimana mendekatinya."


Ketika mereka sampai pada bangsa yang pertama rombongan itu diterima dengan suka hati.
Para pendeta mengundang mereka menghadiri upacara keagamaan, yakni pembuatan api. Ketika upacara selesai, dan bangsa itu sedang mengagumi apa yang mereka saksikan, guru itu berkata, "Apa ada yang ingin mengatakan sesuatu?"
Murid pertama berkata, "Demi Kebenaran, saya merasa harus menyampaikan sesuatu kepada rakyat ini." 
"Kalau kau mau melakukannya atas tanggungan sendiri, silahkan saja," kata gurunya.
Dan pengikut pertama itupun melangkah ke muka kehadapan pemimpin bangsa dan para pendeta itu, lalu katanya, "Aku bisa membuat keajaiban yang kalian katakan sebagai perwujudan kekuatan dewa itu. Kalau aku kerjakan hal itu, maukah kalian menerima kenyataan bahwa bertahun-tahun lamanya kalian telah tersesat?"
Tetapi para pendeta itu berteriak, "Tangkap dia!" dan orang itu pun dibawa pergi, tak pernah muncul kembali.
---------

Para musafir itu melanjutkan perjalanan, dan sampai di negeri bangsa yang kedua dan memuja alat-alat pembuatan api.
Murid kedua memberanikan diri mencoba menyehatkan akal bangsa itu.   Dengan izin gurunya ia berkata, "Saya mohon izin untuk berbicara kepada kalian semua sebagai bangsa yang berakal. Kalian memuja alat-alat untuk membuat sesuatu, dan bukan hasil pembuatan itu. Dengan demikian kalian menunda kegunaannya. Saya tahu kenyataan yang mendasari upacara ini."

Bangsa itu terdiri dari orang-orang yang lebih berakal. Tetapi mereka berkata kepada pengikut kedua itu, "Saudara diterima baik sebagai musafir dan orang asing di antara kami. Tetapi, sebagai orang asing, yang tak mengenal sejarah dan adat kami, Saudara tak memahami apa yang kami kerjakan. Saudara berbuat kesalahan. Barangkali Saudara malah berusaha membuang atau mengganti agama kami. Karena itu kami tidak mau mendengarkan Saudara."
Murid kedua pun gagal
-----------------------

Para musafir itu pun melanjutkan perjalanan.
Ketika mereka sarnpai ke negeri bangsa ke tiga, mereka menyaksikan di depan setiap rumah terpancang patung Nur, orang pertama yang membuat api.
Murid ketiga berkata kepada pemimpin besar itu.   "Patung itu melambangkan orang, yang melambangkan kemampuan, yang bisa dipergunakan."
"Mungkin begitu," jawab para pemuja Nur, "tetapi yang bisa menembus rahasia sejati hanya beberapa orang saja."   

"Hanya bagi beberapa orang yang mau mengerti, bukan bagi mereka yang menolak menghadapi kenyataan," kata pengikut ketiga itu.

"Itu bid'ah, dan berasal dari orang yang bahkan tak bisa mempergunakan bahasa kami secara benar, dan bukan pendeta yang ditahbiskan menurut adat kami," kata pendeta-pendeta itu geram.
Murid ketiga itu pun gagal.
--------------------------

Dan pengikut darwis itupun bisa melanjutkan usahanya.   Musafir itu melanjutkan perjalanannya, dan sampai di negeri bangsa keempat.

Kini Murid keempat maju ke depan kerumunan orang.   "Kisah pembuatan api itu benar, dan saya tahu bagaimana melaksanakannya," katanya.

Kekacauan timbul dalam bangsa itu, yang terpecah menjadi beberapa kelompok. Beberapa orang berkata, "Itu mungkin benar, dan kalau memang demikian, kita ingin mengetahui bagaimana cara membuat api."

Ketika orang-orang ini diuji oleh Sang Guru dan pengikutnya, ternyata sebagian besar ingin bisa membuat api untuk kepentingan sendiri saja, dan tidak menyadari bahwa bisa bermanfaat bagi kemajuan kemanusiaan. Begitu dalamnya dongeng-dongeng keliru itu merasuk ke dalam pikiran orang-orang itu sehingga mereka yang mengira dirinya mewakili kebenaran sering merupakan orang-orang yang goyah, yang tidak akan juga membuat api bahkan setelah diberi tahu caranya.

Ada kelompok lain yang berkata, "sudah jelas dongeng itu tidak benar. Orang itu hanya berusaha membodohi kita, agar ia mendapat kedudukan di sini."
Dan kelompok lain lagi berkata, "Kita lebih suka dongeng itu tetap saja begitu, sebab ialah menjadi dasar keutuhan bangsa kita. Kalau kita tinggalkan dongeng itu, dan kemudian ternyata penafsiran baru itu tak ada gunanya, apa jadinya dengan bangsa kita ini?"
Dan masih banyak lagi pendapat di kalangan mereka.
Murid keempatpun gagal.
-------------------------

Rombongan itu pun bergerak lagi, sampai ke negeri bangsa yang kelima;
di sana pembuatan api dilakukan sehari-hari, dan orang-orang juga sibuk melakukan hal-hal lain.

Sang Guru berkata kepada pengikut-pengikutnya,
"Kalian mesti belajar bagaimana mengajarkan sesuatu kepada orang lain, sebab manusia tidak ingin diajar. Pertama-tama, beritahu mereka cara belajar. Dan sebelum itu, kalian harus menunjukkan kepada mereka bahwa selalu ada saja hal yang perlu dipelajari. Mereka membayangkan bahwa mereka siap belajar. Tetapi, mereka ingin mempelajari apa yang mereka bayangkan harus dipelajari, bukan apa yang terdahulu harus mereka pelajari. Kalau kalian telah memahami semua niscaya kalian bisa merencanakan cara mengajar. Pengetahuan tanpa kemampuan khusus untuk tidak sama dengan pengetahuan dan kemampuan."



Catatan
"Seorang barbar adalah seorang yang daya pahamnya begitu rendah sehingga ia mengira bisa mengerti dengan sekadar memikirkan atau merasakan sesuatu yang hanya jelas dipahami lewat pengembangan dan penerapan terus-menerus dalam usaha meraih Tuhan."

"Manusia menertawakan Musa dan Yesus, entah karena mereka sama sekali tidak mengacuhkan, atau karena mereka menyembunyikan dari diri mereka sendiri tentang apa yang orang-orang ini sungguh maksudkan ketika berbicara dan bersikap."

Menurut riwayat darwis, Ahmad Al-Badawi dituduh menyebarkan agama Kristen oleh orang Islam; ia pun ditolak oleh orang Kristen karena tak mau menerima dogma-dogma Kristen secara harafiah. Ia pendiri tarekat Badawi Mesir.




Sumber :
Kisah-kisah Sufi
Kumpulan kisah nasehat para guru sufi selama seribu tahun yang lampau
Terjemahan Sapardi Djoko Damono
Penerbit Pustaka Firdaus, 1984.
Read more ...

Anu

 


ANU




Anu,

Anu itu ya anu,

Sebab anu adalah anu,

Tapi,

Anu bisa juga bukan anu,

Sehingga ketika ada yang mengatakan anu,

Belum tentu anu yang dikatakannya itu anu.

Jadi,

Ngomong-ngomong soal anu,

Perlu dicari cara supaya semua sama-sama anu,

Biar nggak saling anu,

Apalagi sampai ada anu di antara anu,

Sekarang,

Katakan, gimana caranya supaya bisa anu,

Kalau bisa anu kan anu ...


Salam Anu,





Thomas Pras, 21 April 2014
Read more ...