Sendal Jepit Kesederhanaan

Sendal Jepit Kesederhanaan

 

Ilustrasi Sendal Jepit

 

Mungkin ada pesona tertentu yang menghubungkan rohani para penyair. Setahu saya, ada dua penyair yang terpesona pada kesederhanaan. 

Yang satu Taufiq Ismail. Yang satu lagi Emha Ainun Nadjib. 


Bulan Juni, 1979, ketika Ki Mohamad Said Reksohadiprodjo meninggal dunia, Taufiq terharu. Ia merasa kehilangan. Ia lalu menulis sajak, buat mengenang orang tua sederhana tapi memancarkan kewibawaan itu. Yang paling pertama ia ingat tentang orang tua itu ialah sandal jepitnya, yang selalu berbunyi soh, soh, soh, menggosok debu Jakarta, menggosok debu Indonesia. Di rumahnya, Taufiq mencari sepatu lari, yang ia beli di negara dunia kesatu. Harganya, tentu saja, mahal. Dan itu membuat Taufiq malu mengenang kesederhanaan Ki Mohamad Said. Penyair ini silau melihat kehidupan orang tua itu.

Ketika Mohamad Kasim Arifin, mahasiswa IPB yang selama 15 tahun "menghilang" di Waimital, P. Seram, kembali ke IPB dengan kisah suksesnya membantu petani transmigran yang miskin, Taufiq juga terharu. Kasim, sahabatnya itu, meraih keberhasilan dengan swadaya, tanpa sepeser pun bantuan dana dari pemerintah. Begitu melihat dirinya sendiri, seorang dokter hewan yang hanya bersyair-syair saja kerjanya (begitulah diakuinya dalam sajaknya untuk mengenang Mohamad Kasim Arifin), ia merasa perlu menyembunyikan wajahnya menyembul di kali Ciliwung itu. Kasim yang hidupnya tak gemerlapan itu pun, seperti halnya Ki Mohamad Said, membuatnya merasa malu, risi, dan bersalah. Getaran apakah yang membuat kita bisa merasa risau dan terpojok tak berdaya seperti itu? Mungkin cuma Taufiq sendiri yang tahu jawaban persisnya. Tapi, saya kira Taufiq mengharapkan agar kita punya lebih banyak lagi tokoh seperti Ki Mohamad Said dan Kasim Arifin. Ia, dengan kata lain, tak ingin melihat Ki Mohamad Said berangkat meninggalkan kita. Kematian memang sering bisa memberikan kenangan seperti itu. Dan, celakanya, kita seperti baru sadar, bahwa orang seperti itu penting dan kita perlukan.

Dalam "Sajak-sajak Sederhana"-nya, nampak bagaimana penyair Emha Ainun Nadjib gandrung pada kesederhanaan itu. 

"Tuhanku" katanya. "Ambillah aku sewaktu-waktu. Kematianku kehendak sederhana saja. Orang-orang menguburku hendaknya juga dengan sederhana saja."

Barangkali, ini pesan Emha. Tapi barangkali juga salah satu cermin dari pergulatan batinnya sebagai seorang seniman. Seperti Taufiq Ismail, Emha Ainun Nadjib juga kuat memperlihatkan pada kita pemihakannya pada nilai kesederhanaan.


Ketika Soedjatmoko meninggal dunia, Emha juga menulis kenangan. Ada sesuatu yang ia kagumi pada diri intelektual beken itu. Oleh karena itu, tak segan ia menyebut Soedjatmoko sebagai ulama. Benar, kata Arab itu artinya memang persis mencerminkan kehidupan Soedjatmoko: orang yang banyak ilmu. Tapi pemberian gelar ulama itu jelas memiliki konotasi lebih: bahwa almarhum bukan cuma berilmu tapi juga, dan ini yang lebih penting, mampu memberikan teladan laku bagi siapa saja.

Goenawan Mohamad bahkan menyebut Soedjatmoko bukan cuma teladan ilmu, melainkan juga teladan "laku". Bagi Soedjatmoko, apa yang dikatakan dan yang ditulis tidak cuma cermin ketangkasan berolah pikir, melainkan juga cermin pergulatan batinnya. Orang bilang, keteladanan adalah sesuatu yang hilang dari kita. Kita tak lagi punya sesuatu yang kita banggakan. Tak ada lagi sosok pribadi yang layak kita jadikan teladan. Tampil secara sederhana saja misalnya, juga sesuatu yang tak mudah. Imbauan untuk menyederhanakan hidup sebetulnya pas buat kita. Ia bukan cuma problem bagi orang kaya yang cenderung hidup gemerlapan. Orang miskin pun, entah berkat rangsangan virus apa, banyak yang tak mau tampil apa adanya. Mereka tidak gemerlap, mungkin juga memperlihatkan sikap anti pada gaya hidup itu, barangkali hanya karena belum ada kesempatan.


Benar kekaguman Taufiq pada Ki Mohamad Said, karena orang itu telah membuktikan dalam hidupnya. Ia bukan cuma orang sederhana, melainkan mungkin kesederhanaan itu sendiri.





Sumber:
Mohammad Sobary
Jawa Pos 12 Januari 1992
Read more ...

Gado-gado Cak Nun

Gado-gado Cak Nun


Malam Minggu kemarin, 20 September 2014, di lapangan Korpri Provinsi Lampung, ada hajatan budaya yang digagas teman-teman SEKALA Lampung.  Di acara tersebut, hadir teman-teman dari Galaxy Nasyid, Paduan Suara Universita Lampung, Cerpenis Lampung Mbak Yuli Nugrahani, Budayawan Lampung Isbedy Setiawan, Pak Gie Sugiyanto, Tokoh Masyarakat, Pemuka Agama, Anggota DPR, dan Budayawan Emha Ainun Najib, dan tentunya saya, sebagai penonton (sopo rek sing takok ! ... ha ha :D )

Acara dibuka dengan penampilan dari teman-teman grup Nasyid Galaxy, Paduan Suara Universitas Lampung, pembacaan puisi oleh Isbedy Setiawan dan Yuli Nugrahan.

 Galaxy Nasyid in Action

 "Muli" oleh Isbedy Setiawan

Yuli Nugrahani dengan "Menuntut Bukti"-nya


 Emha Ainun Najib, tentang Kebhinneka Manunggal Ikaan


Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama Lampung




Beberapa wacana yang tercatat di kepala, dari acara budaya bertema Kebhinneka Manunggal Ika an, yang diprakarsai  Sekala Lampung, dan kemudian saya beri judul sendiri Gado-gado dari Cak Nun, diantaranya :


1. Gado-gado itu enak, ketika bahan-bahannya berkualitas. Kolnya, kacangnya, lontongnya, kentangnya, tahunya, semuanya fresh (dan kemudian diolah dengan benar). Gado-gado enak, ketika bahan-bahan tadi tetap menjadi dirinya sendiri: Kol ya benar-benar kol, bukan kol-kolan, dan seterusnya. Demikian analogi untuk Kebhinneka Manunggal Ika an.
Jika selama ini kita terlalu terpaku dengan Kebhinnekaan, ke depan kita juga perlu memberikan porsi perhatian lebih besar terhadap Kemanunggal Ikaan. Ketika Lampung, Jawa, Sunda, Bali, menjadi lampung-lampungan, Jawa-jawaan, Sunda-sundaan, Bali-balian, dan seterusnya, apakah akan menjadi gado2 Indonesia yang berkualitas ?!
Jadi cara berfikirnya: Manunggal ika, menyatu tanpa kehilangan identitas aslinya. 

Lampung, Jawa, Bali, madura dan seterusnya itu lebih dulu ada dari yang namanya Indonesia, justru Indonesia tak akan ada tanpa semua tadi.
Maka yang dibutuhkan justru menjaga identitas itu, dan untuk kepentingan Kemanunggal Ikaan, yang dibutuhkan adalah perekat berupa "keterbukaan", "saling menerima perbedaan" ...
Saya senang mendengar sudah ada yang mulai mengumpulkan "kata-kata mutiara Lampung" ... itu merupakan modal.  (Cak Nun)

2. Dari sisi religiusitas, kalimat "Allahuakbar" adalah bentuk tertinggi ketakjuban akan pengalaman empiris. Ketakjuban dari (kesadaran) sang rendah kepada (karya) Sang Maha Tinggi. Maka rancu ketika kalimat maha sakral tersebut justru digunakan untuk kepentingan gagah-gagahan. (Cak Nun)
3. Acara semacam ini, ada baiknya dikonsep agar seperti fase-fase yang disampaikan Bapak pendidikan : "ing ngarso Sung tulodo, ing madyo mangunkarso, tut wuri handayani". ketika semakin ke sana porsi saya dan kita yang tua-tua semakin sedikit, dan bisa digantikan dengan yang muda-muda ini, itu berarti acara yang digagas Skala Selampung dan komunitas-komunitas yang hadir di sini, semakin berhasil (Cak Nun)
4. Kearian lokal, Filsafat lampung "Piil Pasenggiri", dari yang saya alami dalam keluarga saya, terutama dari Ibu saya, lebih bermakna sebagai "gengsi" yang diukur sebagai segi Kemanfaatan orang Lampung terhadap dirinya dan orang lain (Advokad Lampung, dulunya orang teater -- namanya lupa)
5. Pluralitas itu realitas, menolaknya berarti menolak realitas. Realitas yang bersumber dari Sang Sumber hidup. Jika punya pendirian demikian silahkan resikonya ditanggung sendiri (Corat-coret Penulis).

Dan satu pesan Cak Nun, ketika aktivitas ini diselenggarakan menjadi rutin, idealnya peran Cak Nun dan para tokoh senior semakin sedikit porsinya, seiring meningkatnya porsi peran generasi muda Lampung.  

Itulah corat-coret ide, pemikiran, wacana tentang Kebhinneka Tunggal Ika an yang sempat tercatat dalam artikel Gado-gado Cak Nun ini.  Semoga hajatan semacam ini bisa diselenggarakan secara terus menerus, untuk membuat Lampung, Indonesia lebih sejuk, lebih damai, dengan berpijak pada budaya Indonesia itu sendiri.




Tabik pun !

Salam Hangat,



Thomas Pras









Read more ...

Kotak Sosio-Kultural

Kotak Sosio-Kultural 

 

  ilustrasi kotak sosio kultural.  sumber: di sini

"Makin lama makin cinta pada Muhammadiyah. 
Saya ingin bila kelak saya mati, keranda saya ditutup bendera Muhammadiyah." 

Ini ucapan Bung Karno. Ketika tokoh ini kemudian wafat dalam kesepian di Wisma Yaso, Jakarta, jenazahnya disalatkan oleh almarhum Buya Hamka, tokoh yang pernah disudutkannya secara politis. Buya Hamka bersedia menyembahyangkan Bung Karno karena Menteri Sekretaris Negara Alamsyah, waktu itu, membujuk agar Buya berbesar jiwa. Saya dengar alasan ini dari Buya Hamka sendiri dalam suatu salat Jumat di Mesjid Agung Al-Azhar, Jakarta. Saya tidak tahu pasti, adakah keranda Bung Karno kemudian ditutup bendera Muhammadiyah. Samar-samar saya ingat, ada berita dari seorang warga Muhammadiyah, bahwa wasiat beliau dipenuhi.


Nurcholish Madjid pernah menulis di harian Pelita, komitmen kita sebagai umat Islam ialah komitmen pada nilai, bukan pada golongan
Pemikiran ini menarik. Kita tahu, nilai memiliki kepastian relatif. Sedang golongan tidak. Seseorang boleh "berkulit" haji, berbendera Muhammadiyah atau NU memang; tapi jaminan dari orang itu bahwa ia akan senantiasa lurus dan bersikap luhur sebagaimana nilai-nilai yang melekat pada baju yang dipakainya, tidak ada. Bagaimanakah corak pemihakan Bung Karno pada Muhammadiyah? Kita tidak tahu. Bung Karno sendiri tak secara eksplisit menjelaskannya. Sementara itu sumber tertulis tidak ada. Dugaan saya, Bung Karno punya banyak komitmen nilai, sekaligus golongan.

Di tengah kaum Marhaen, ia bilang ia juga Marhaenis. Di tengah orang-orang Komunis dia bilang bahwa dia seorang Marxis. Orang pun tahu, ia juga menyebut dirinya seorang agamawan. Apakah Bung Karno plin-plan? Ia Bapak bangsa. Ia merasa harus berdiri di atas semua golongan. Agaknya ia beranggapan, meskipun tak dikatakannya, keragaman identik dengan perpecahan. Sedang ia gandrung akan persatuan. Kata Bernard Dahm, hanya Bung Karno-lah yang karena ke-Jawa-annya, bisa menggabungkan ketiga hal berbeda satu sama lain itu ke dalam satu sintesa harmonis. Karena bagi orang Jawa, segala sesuatu itu pada dasarnya satu.


Dalam salah satu sajak religiusnya, Farriduddin Attar memandang Dunia, penyair Taufiq Ismail bicara tentang pemikiran Attar. Bagi Attar, katanya, dunia ini nampak sebagai sebuah kotak. Manusia hidup, beranak, bercucu, berkemenakan, bekerja, tidur dan bermimpi, di dalam kotak. Manusia, di dunia ini, kerjanya sibuk membuat kotak-kotak.

Amir Machdum, guru saya, melarang saya masuk partai politik. Alasannya, partai mengurung, membatasi kita. Padahal ia sendiri, dulu, orang PNI. Saya sendiri anak Muhammadiyah karena lahir di lingkungan Muhammadiyah, dan sekolah di sekolah Muhammadiyah. Setelah saya tahu NU, ibadah saya mirip NU tapi "partai" saya tetap Muhammadiyah.

Ketika mahasiswa, kotak yang saya pilih HMI. Tapi ketika Ogi Indra Yoga, golongan independen, mencalonkan diri jadi ketua Senat Mahasiswa FIS UI (nama dulu), saya mendukungnya karena dia populer, rajin bekerja, dan mau berpikir. Masriel Mansyur, lawannya dari HMI, tidak saya dukung. Benar dugaan saya, Masriel kalah.

Toh saya menolak tawaran Ogi, sang pemenang, untuk menjadi salah satu stafnya. Saya memperlihatkan solidaritas terhadap kawan-kawan HMI lain, yang tak satu pun mendapat tawaran Ogi. Dalam hal ini, saya tegas memperlihatkan warna "jaket" HMI. "Lebih baik, kalau tidak mau, bilang saja tidak mau. Jangan banyak alasan," katanya.

Belakangan saya mikir, kita gandrung demokrasi dan sadar akan kebhinekaan etnis, agama, dan corak pemikiran dalam masyarakat kita, tapi mengapa kita tak cukup longgar mendengar argumen lain yang tak sejalan dengan kita? Mengapa kita tak sabar menghadapi kebhinekaan? 

"Kalau mau serba seragam," kata Rendra, "lebih baik jadilah pembuat batu bata."


Keseragaman memang mengesankan berfungsinya mesin rekayasa yang otoriter, kaku, dan dingin, mirip teriak kebulatan tekad yang mekanistis. Saya lebih suka kebhinekaan. Tapi dalam kebhinekaan ada cacat yang tak saya sukai. Di sini orang bisa, dan mungkin mudah, tergelincir ke dalam kotak fanatisme yang selalu siap mengurung kita. Potensi ricuh dalam kotak ini sama besar dengan rasa sumpek di bawah keseragaman yang serba otoriter. Kedua-duanya, dengan kata lain, punya kemungkinan untuk jadi jelek.

Namun, karena lazimnya orang harus memilih, bagi saya, kebhinekaan itu baik, asal kita tidak terkurung. Artinya, di saat diperlukan, kita harus bisa keluar dari kepompong (agama, kelompok, golongan, etnis, partai politik) yang mengurung kita karena, sekali lagi mengutip Nurcholish Madjid, komitmen kita pada nilai, bukan pada golongan.





Sumber:
Mohammad Sobary
Editor, No. 24/Thn. IV/23 Februari 1991
Read more ...

Kesalehan Sosial, Kesalehan Ritual

Ilustrasi Kesalehan Sosial: Anak-anak SD Muhammadiyah membersihkan Sungai, sumber : di sini

Ketika dalam "Robohnya Surau Kami" A.A. Navis memasukkan Haji Saleh (yang yakin bakal masuk sorga itu) ke neraka, sebenarnya ia sedang berbicara tentang suatu corak keagamaan yang tak ia "restui". Navis sedang menggugat kesalehan ritual: jenis kesalehan yang ukurannya ditentukan berdasarkan seberapa taat seseorang menjalankan salat lima waktu, seberapa panjang zikir-zikir sesudah salat, dan seberapa sering salat sunat ia lakukan. Pendek kata, kesalehan itu ditentukan berdasarkan ukuran serba legal formal sebagaimana kata ajaran.

Dan biasanya, untuk ini ada-ada saja orang yang merasa memiliki otoritas buat menilai kredibilitas moral orang lain. Ia menjadi semacam tim pemeriksa dan penilai keimanan orang lain. Islam bukan agama individual. Ajaran yang dibawa Gusti Kanjeng Nabi Muhammad itu, dari "atas" memang dirancang buat rahmat bagi semesta alam. Orang yang paling saleh pun dengan demikian tak punya hak monopoli atas agama itu. Kita tak berhak menentukan tingkat kesalehan tetangga sebelah. Dan tak satu pun di antara kita punya wewenang "mengontrol" ibadah orang lain. Terutama bila hal itu disertai sikap sinis dan cemooh, seperti Haji Saleh dalam Robohnya Surau Kami itu.

Kita tahu Bang Navis orang Minang dan ia sedang bicara tentang situasi kultural Minang. Tapi corak keagamaan itu tak dengan sendirinya cuma milik orang Minang. Di Jawa pun, pada saat yang sama, tiga puluhan tahun yang lalu, ketika perpecahan ideologi kultural kuat mewarnai kehidupan masyarakat, gejala serupa juga menonjol. Terjadinya polarisasi santri-abangan, sebagaimana dirumuskan Clifford Geertz, adalah produk zaman tersebut. Namun juga tak berarti cuma milik zaman itu. Sekarang pun, setelah tiga puluhan tahun yang berlalu, kecenderungan agamis seperti itu toh masih juga terasa.

Maka pada tahun 1980-an, ketika Gus Dur giat menganjurkan agar kita istirahat sebentar dari kesibukan berdebat tentang batalnya wudlu, untuk khusyuk bersama-sama memikirkan bagaimana kemiskinan umat ditangani, ia seperti memberi jawaban atas persoalan yang merunyamkan A.A. Navis tersebut. Dengan kata lain, Gus Dur sedang berbicara tentang kesalehan sosial: suatu bentuk kesalehan yang tak cuma ditandai oleh rukuk dan sujud, melainkan juga oleh cucuran keringat dalam praksis hidup keseharian kita. Orang semacam Gus Dur dan mayoritas umat yang miskin tentu saja juga memerlukan penyelamatan sorgawi seperti Haji Saleh itu.

Bedanya, Haji saleh mengesankan sikap hidup egoistis, ingin mencari selamat sendiri, sedangkan Gus Dur tampak altruis, ingin menikmati penyelamatan sorgawi bersama umat. Kalau boleh, mungkin mau masuk sorga dengan sandal kulitnya itu sekaligus. Kecuali itu, Haji Saleh yakin bahwa sorga bisa digapai dengan kesalehan ritual.
Gus Dur melihat bahwa sorga justru (setelah melihat konteks sosio-ekonomis umat yang compang-camping) harus lebih diraih dengan kesalehan sosial.

Usahanya "menerobos" pintu Bank Summa untuk melakukan kerja sama ekonomi dengan membuka BPR, misalnya, jelas mempertegas wawasan keagamaannya. Dalam kitab suci disebutkan bahwa sorga itu ada tingkatan-tingkatannya.

Tanpa menodai ajaran, saya sering menafsirkan bahwa rasanya, sekarang pun saya sudah menikmati sebagian kenyamanan sorga itu. Maka, tafsiran saya selanjutnya, sorga bagi rakyat kecil, mayoritas umat yang miskin tentu juga sederhana tingkatannya: yakni sekadar buat pemenuhan kebutuhan jasmani (sandang, pangan, papan).
Buat kebutuhan rohani, (membaca salawat buat Kanjeng Nabi, maupun segala puja dan puji kepada Allah) tentu dirasa sebagai kebutuhan luks. Dus, belum merupakan kebutuhan primer.

Tafsiran serupa saya dengar pernah dibuat oleh seorang pastur muda yang arif. Sehabis mengkhotbahi habis-habisan para "domba" yang miskin, ia antar mereka pulang. Di tengah nyala obor, di sepanjang jalan licin dan becek di daerah Malang, terjadilah dialog antara sang pastur dan dan para jemaahnya. Sang pastur kemudian menyimpulkan: saya ini keliru. Kongkret, mereka butuh makan. Tapi saya beri mereka cerita tentang sorga, cinta kasih, dan Tuhan Bapa ... Pemikiran keagamaan seperti ini ternyata juga bukan monopoli kaum terpelajar, seperti Romo Pastur muda tadi.

Di Desa Ciater, Serpong, tempat saya melakukan penelitian tentang hubungan antara agama dan tingkah laku ekonomi, saya temukan seorang haji tua, pedagang kecil, yang beranggapan bahwa kesalehan itu terletak dalam praksis, bukan dalam doa-doa. Ketika saya tanyakan kepadanya, orang yang bagaimana yang disebut sebagai orang saleh, Haji Asnen bin Haji Thalib itu menjawab: "Orang yang menyeimbangkan ushali dan usaha," katanya. Baginya, kedua hal itu harus diseimbangkan.

Namun, jika ia harus memilih, ia akan lebih memilih yang kedua dulu. "Mengapa?" tanya saya. "Karena kalau anak-anak lapar, kita harus memberikan jawab kongkret: kasih makan. Dan makan itu kita peroleh dari usaha." "Doa mah kaga enak dimakan," katanya lagi. Dengan kata lain, haji dari Betawi ini pun sedang bicara bahwa dalam kondisi tertentu, kesalehan sosial terasa agak lebih, dan karena itu perlu didahulukan dari kesalehan ritual. Dengan begini, gugatan Navis kini terasa berdengung kembali dan memperoleh lagi relevansinya.

Bukan haji kalau ia tak bisa memperkuat argumentasinya dengan contoh kuat. Maka, Haji Asnen pun mengutip sebuah Hadis. Katanya, seorang sahabat pernah memuji kesalehan orang lain di depan Kanjeng Nabi. "Mengapa ia kau sebut sangat saleh?" tanya Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW. "Soalnya, tiap saya masuk masjid ini dia sudah salat dengan khusyuk dan tiap saya sudah pulang, dia masih saja khusyuk berdoa."

"Lho, lalu siapa yang memberinya makan dan minum?" tanya Kanjeng Nabi lagi. "Kakaknya," sahut sahabat tersebut. "Kakaknya itulah yang layak disebut saleh," sahut Kanjeng Nabi lebih lanjut. Sahabat itu diam. Sebuah pengertian baru terbentuk dalam benaknya. Ukuran kesalehan, dengan begitu, menjadi lebih jelas diletakkan pada tindakan nyata. Kesalehan, jadinya, lalu dilihat dampak kongkretnya dalam kehidupan sosial. Tentu saja, hanya kesalehan sosial yang bisa diukur dengan cara seperti itu.


 Dalam agama, sebenarnya kedua corak kesalehan itu merupakan wajah sebuah kemestian yang tak usah ditawar. Secara normatif, keduanya haruslah merupakan bagian hidup tiap-tiap hamba. Kita, pendeknya, selalu diminta tampil ideal. Artinya, secara ritual kita saleh, secara sosial pun kita mestinya saleh juga. Maka, betapa pun pahitnya harus diakui bahwa memang, silang selisih antara mereka yang lebih menggarisbawahi kesalehan ritual dengan mereka yang lebih memilih kesalehan sosial masih bisa terjadi terus-menerus. Ini tak menjadi soal. Sebab, bukankah silang selisih itu sendiri merupakan sebuah dialog untuk mencapai takaran ideal itu juga?




Sumber: 
Mohammad Sobary
Jawa Pos, Minggu Legi, 29 Desember 1991
Read more ...

Nasruddin: Filsuf itu Orang Bodoh dan Bingung



Nasruddin, sumber : di sini


Berikut adalah salah satu kisah Nasruddin yang dikutip dari The Exploits of The Incomparable Nasruddin, buku yang disusun oleh seorang sufi abad akhir, Idries Shah.

Alkisah, para filusuf, ahli ilmu mantiq, dan ahli hukum berkumpul di istana. Mereka bergabung untuk menginterogasi Nasruddin. Perkara Nasruddin telah dianggap sebagai sebuah kasus yang amat serius. Persoalannya adalah; Nasruddin seringkali datang ke berbagai tempat meneriakkan satu khotbah yang sama. Dalam khotbahnya itu, ia menyebut orang-orang berilmu, seperti para filsuf, sebagai mereka yang bodoh, kebingungan, dan tak bisa mengambil keputusan. Tentu saja, ceramah Nasruddin ini dianggap subversif dan mengganggu ketertiban negara.

Singkat cerita, mereka yang merasa tersinggung meminta Raja untuk mengadili Nasruddin. Digelarlah sebuah pengadilan dengan Nasruddin sebagai terdakwa tunggal. "Hai Nasruddin," ucap Raja, "kau mendapat giliran untuk bicara terlebih dahulu."

Nasruddin lalu meminta agar dibawakan beberapa lembar kertas dan pena. Setelah itu ia berkata, "Tolong bagikan kepada para pakar yang ada di ruangan ini, masing-masing secarik kertas dan sebilah pena."

Setelah setiap orang pakar mendapatkan kertas dan pena, Nasruddin berkata lagi, "Aku mohon kepada setiap ahli untuk menuliskan di atas kertas itu jawaban untuk pertanyaan ini; Apa yang disebut dengan roti?"

Setiap cerdik cendekia yang ada di tempat itu lalu menuliskan apa yang mereka ketahui tentang roti. Jawaban para pakar itu lalu dikumpulkan dan diserahkan kepada Raja. Raja pun membacanya satu demi satu.

Orang bijak pertama menulis, "Roti adalah sebuah makanan."
Si bijak kedua menjawab, "Roti adalah tepung bercampur dengan air."
Si bijak ketiga menulis, "Roti adalah karunia Tuhan."
Si bijak selanjutnya menjawab, "Roti adalah terigu yang telah dimasak."
Orang berikutnya menulis, "Roti merupakan makanan bergizi."
Dan demikian seterusnya.
Setiap orang yang terkenal pandai itu, menulis jawaban yang berbeda-beda, masing-masing bergantung pada pemaknaan mereka akan sebuah roti.
Salah seorang dari mereka bahkan menulis, "Tak ada seorang pun yang tahu sebenarnya apa yang dimaksud dengan roti."

Setelah mendengar semua jawaban itu, Nasruddin berkata kepada sang Raja, "Ketika mereka dapat menentukan apa yang disebut sebagai roti, barulah mereka bisa menentukan hal-hal selain roti. Misalnya, menentukan apakah khotbahku benar atau tidak."

la melanjutkan, "Dapatkah Baginda mempercayakan urusan penilaian atau keputusan kepada orang-orang seperti ini?
Bukankah amat aneh bila mereka tidak sepakat akan sesuatu yang mereka makan setiap hari, tetapi mereka sepakat untuk menentukan bahwa aku seorang ahli bid'ah?"


Cerita Nasruddin di atas sebetulnya merupakan sebuah sindiran orang-orang sufi kepada mereka yang merasa bijak, mereka yang sibuk mempelajari agama lalu ramai berdebat untuk memutuskan mazhab mana yang benar dan mana yang sesat. Bukankah ketika kita belajar fikih, kita dihadapkan kepada berbagai perbedaan pendapat. Kita akan dianggap orang yang paling pandai apabila kita bisa mengetahui segala pendapat yang berbeda itu, lalu memutuskan bahwa pendapat kitalah yang paling benar.

Kepada mereka yang kebingungan, Nasruddin berkata, Janganlah kau ikuti berbagai macam pendapat yang ada. Kau takkan mungkin dapat mempersamakan para ulama itu."   Para ulama yang berbeda paham tersebut hanya mencapai bagian luar dari ajaran agama. Dimensi eksoteris agama akan selalu menghasilkan perbedaan pendapat. Namun bila kita menukik lebih dalam lagi, ke substansi dari ajaran agama, semua mazhab akan menemukan titik temu."

Read more ...

Doa yang Tak Membebaskan

DOA YANG TAK MEMBEBASKAN


DIALOG TENTANG "ISI PESAN"

 

 Ilustrasi Pesantren Tempo Doeloe, sumber: di sini


Para santri pun akhirnya berkumpul lagi setelah beberapa lama sebelumnya mereka menerima tugas dari sang kiai. "Sudah mengerti pesan dalam surat itu?" tanya kiai, membuka pertemuan kembali.
"Sudah, kiai, alhamdulillah," sahut salah seorang santri.
"Bagaimana isi pesan itu?" Santri itu memperdengarkan bacaannya yang bagus atas surat Al Ma'un.
"Aroaital ladzi yukadzibu biddin ...," merdu suaranya. Dan ia pun meneruskan pembacaan dan terjemahannya, sampai selesai.

"Kamu?!" kata sang kiai kepada santri yang lain. Santri itu pun mengulangi hal yang sama. Ia pun membaca ayat-ayat suci itu, disertai terjemahannya. Setelah para santri lain memberi jawaban yang sama, sang kiai tak lagi meneruskan bertanya pada santri berikutnya. Ia berkesimpulan, semua santri pasti akan berbuat serupa. "Kalian belum mengerti kalau begitu. Kalian cuma hapal. Mengerti dan hapal itu beda," katanya lagi, dengan intonasi lembut seperti semula. Kiai kita ini ialah pendiri perserikatan yang bernama Muhammadiyah yang terkenal itu: Kiai Haji Ahmad Dahlan.

Dialog ini terkenal di kalangan keluarga Muhammadiyah. Orang Muhammadiyah menganggap "peristiwa" ini penting karena dalam dialog itu terselip sebuah pesan jelas, bahwa agama tak cuma minta dipahami, melainkan diamalkan. Ketika agama berhenti pada titik pemahaman, saat itu mungkin agama diturunkan derajadnya menjadi "cuma" sejenis filsafat. Agama, dengan kata lain, dipreteli fungsi-fungsi sosialnya yang begitu penting dan yang paling relevan dengan hidup kemasyarakatan kita. Syahdan, sejak dialog antara kiai dan santri itu lalu didirikan sebuah panti asuhan, tempat menampung anak-anak yatim-piatu.

Langkah ini diambil KH Ahmad Dahlan untuk memenuhi perintah yang dikandung di dalam surat Al Ma'un tersebut. Ini merupakan contoh kongkret bagi para santrinya, mengenai bagaimana mereka harus memahami kandungan isi kitab suci Al Qur'an. Di sana memang ada kalimat: "Tahukah kamu, orang-orang yang mendustakan agama? " Dan dalam surat ini dijelaskan bahwa orang yang menyia-nyiakan anak yatim serta tak memberi makan orang miskin, dimasukkan dalam kategori dusta itu.


RELEVANSI SOSIAL DARI AGAMA

 

Ilustrasi "Isi Pesan", sumber di sini


Agama diturunkan Tuhan buat manusia, dan bukan buat kepentingan Tuhan itu sendiri. Tuhan sudah kelewat mulia, kelewat luhur, kelewat kaya. Pendeknya ia tak perlu apa-apa lagi. Oleh karena itu, sekali lagi, pemahaman KH Ahmad Dahlan itu sungguh sangat kontekstual buat situasi kita saat itu, dan juga kini. Ayat-ayat suci sungguh bukan untuk dibaca, dilagukan, dan dipertandingkan dari tingkat kabupaten sampai tingkat nasional, melainkan untuk dimengerti, dipahami dan dilaksanakan. Sikap KH Ahmad Dahlan begitu tegas: ia tak ingin umat Islam hanya menjadi "burung nyanyi", (seperti contoh para santrinya) yang mengandalkan suara merdu. Baginya, yang terpenting adalah tindakan dan amal nyata. Relevansi sosial dari agama, pendeknya, merupakan hal yang penting. Mungkin malah yang terpenting. Ibadah puasa selama sebulan itu ditutup dengan lebaran. Suasana khusu', penuh tirakat dan sikap prihatin yang nampaknya dalam itu diakhiri dengan sebuah pesta: makan, minum, rokok dan segala macam yang selama sebulan dilarang, di hari itu halal semata hukumnya.

Dan kita bersyukur. Tradisi yang mewarnainya, dus sesuatu yang bukan bagian dari ajaran, ialah sungkem pada orang-tua, mertua, bertemu sanak keluarga, teman kongkow, teman ngaji, teman sekolah atau kantor, dan juga para tetangga. Suasana gembira memancar di tiap wajah. Hati pun terbuka buat saling memaafkan. Urusan ibadah kita menjadi juga urusan nasional. Negara mendapat untung, setidaknya dari penjualan benda-benda pos. Permintaan dan pengiriman maaf tak bisa jalan tanpa amplop dan perangko. Pulang ke kampung juga merupakan tradisi lain yang ikut mewarnai kemeriahan lebaran. Negara juga ikut terlibat dalam acara ini. Mungkin juga memperoleh untung dari penjualan tiket kereta, pesawat dan kapal laut, buat kepentingan orang-orang yang bergembira ini. Suasana tirakat tak boleh berlama-lama. Tuhan menghendaki segala yang mudah, sederhana dan kepenak, bagi hamba-hambaNya.


APA YANG KONKRIT ? 

 

Ilustrasi : Muara dari Pengembaraan Rohani, sumber di sini

Tapi persoalannya, jika puasa sebulan itu dianggap media latihan hidup asketik, pengerahan segenap kekuatan lahir dan batin untuk menangkap esensi serta makna ajaran suciNya, apakah kemudian yang kita bawa "pulang" ke dunia ini? Apa hasil pengembaraan rohaniah, yang bisa kongkret kita abdikan buat kepentingan kemanusiaan? Pertama-tama, barangkali harus diakui bahwa tak setiap hamba memang telah "berhasil" menghayati esensi ajaran yang terkandung dalam puasa. Mungkin kita ini masih pada tataran "burung nyayi": kita baru hapal, dan belum mengerti, seperti kata Kiai Dahlan tadi. Kita sibuk ngaji, sibuk bertilawatil Qur'an, mungkin kurang sibuk berbuat. Kecuali itu, dari tahun ke tahun, mungkin suasana "tirakat" dalam bulan puasa semakin nampak berubah.

Benar, kita masih fasih bicara solidaritas sosial, kita juga punya kepedulian terhadap kemiskinan, tapi bagaimanakah tindakan kita? Acara buka puasa menggejala di mana-mana. Acara-acara semacam itu sering berarti makan besar dan enak. Dan kita boleh bertanya pada diri sendiri, berapa puluh kalikah acara seperti itu kita hadiri selama sebulan itu? Atas nama kekeluargaan, kangen-kangenan antara sesama teman dalam organisasi ketika mahasiswa, kumpul tanpa suatu tujuan tertentu selain buka bersama, atau bahkan dengan motivasi bisnis, acara buka puasa bersama diadakan di hotel mewah. Tak jadi soal memang, karena kita makin makmur. Tapi "kita" di sini siapa gerangan orangnya? Nampaknya cuma kelas menengah dan atas. Dengan kata lain, golongan rakyat yang sehari penghasilannya 2-3 ribu, tak akan pernah ikut acara macam ini.


AJARAN BUKANLAH REALITAS TINDAKAN



Tak jadi soal juga memang, kalau kita tak ada kepedulian terhadap mereka. Tak jadi soal kalau kita tak belajar menaruh iba dan rasa kasih pada mereka yang di bawah, yang tertindas. Jarak antara sesama kita, sebenarnya jauh. Setidaknya, tak sedekat yang kita bayangkan. Dan tak sedekat yang kita gambarkan secara ideal bahwa tiap umat, menurut ajaran, satu sama lain adalah saudara. "Saudara yang bagaimana?" saya bertanya ...

Soal serius dalam hidup kita, umat, ialah bahwa kita lupa, ajaran itu bukan realitas. Tapi kita sudah puas dengan semua yang ideal. Dan berhentilah kita di tataran itu. Maka kita pun menyanyikan lagu bahwa agama memperhatikan yang miskin dan menyantuni yang yatim. Kita menyanyi dalam arti sebenarnya karena kita lupa bahwa agama di situ menuntut tindakan kita.

Ucapan "Selamat Lebaran" yang kita sampaikan pada mereka yang lebih miskin jadinya cuma ucapan kosong atau setengah kosong, karena tanpa kita sertai tindakan yang jelas bisa membebaskan mereka dari struktur yang mengurung dan memiskinkan mereka itu. Sebagai doa, ucapan kita jelas mulia. Tapi bagaimanapun, ia belum merupakan doa yang membebaskan.





Sumber : 
Mohammad Sobary
Jakarta Jakarta, No.300, 28 Maret- 3 April 1992
Read more ...

Sokrates di Pasar

 Sokrates, sumber: di sini


Sokrates, seorang filsuf sejati, yakin bahwa orang yang bijaksana dengan sendirinya akan hidup sederhana. Ia sendiri tidak memakai sepatu, namun ia terus-menerus tertarik oleh keramaian pasar dan sering pergi ke sana untuk melihat segala macam barang yang dipertontonkan.

Ketika salah seorang kawannya bertanya mengapa demikian, Sokrates berkata:

"Saya senang pergi ke sana untuk mengetahui berapa banyak barang yang meskipun tidak memilikinya, saya tetap gembira."


Hidup batin adalah tidak mengetahui apa yang engkau kehendaki tetapi memahami yang tidak engkau butuhkan.



Sumber : 
Doa Sang Katak 2
Anthony de Mello SJ
Cetakan 12, 1990
Penerbit Kanisius
Read more ...

Kitab Suci


KITAB SUCI


Ilustrasi Kitab Suci, sumber: di sini


Ketika ditanya bagaimana Kitab Suci seharusnya digunakan, Sang Guru menceritakan pengalaman waktu ia menjadi guru di sebuah sekolah dan melontarkan pertanyaan ini kepada para murid,

"Bagaimana kamu menentukan tinggi sebuah bangunan dengan menggunakan alat barometer?"
Salah seorang anak yang cerdas menjawab,   Saya akan menurunkan barometer dengan tali dan kemudian mengukur panjang tali itu."

"Banyak akal dalam ketidaktahuannya," komentar Sang Guru.

Kemudian ia menambahkan,
"Begitulah akal dan ketidaktahuan orang-orang yang menggunakan otak mereka untuk memahami Kitab Suci, sama dengan mereka yang mencoba memahami matahari terbenam atau samudra atau desiran angin malam di pepohonan dengan menggunakan otak mereka."



Sumber :
Berbasa-basi Sejenak
Cetakan 1, 1997
Anthony de Mello SJ
Penerbit Kanisius.
Read more ...

Kisah Tiga Orang Darwis

Kisah Tiga Orang Darwis



Ilustrasi Tiga Orang Darwis, sumber : di sini

Konon, ada tiga orang, mereka bernama Yak, Do, dan Se. Mereka masing-masing berasal dari Utara, Barat, dan Selatan. Mereka memiliki suatu hal yang sama: berusaha mencari Kebenaran Dalam, oleh karenanya mereka mencari Jalan.

Yang pertama, Yak-Baba, duduk dan merenung sampai kepalanya pening. Yang kedua, Do-Aghas tegak dengan kepala di bawah sehingga kakinya kaku. Yang ketiga, Se-Kalandar, membaca buku-buku sampai hidungnya mengeluarkan darah.

Akhirnya mereka memutuskan untuk berusaha bersama-sama.

Mereka mengundurkan diri ke tempat sunyi dan melakukan latihan bersama, mengharap agar ketiga kekuatan yang digabung akan cukup kuat untuk mendatangkan Kebenaran, yang mereka sebut Kebenaran Dalam.
-------------

Empat puluh hari empat puluh malam lamanya mereka bertahan menderita. Akhirnya, dalam pusaran asap putih muncullah kepala seorang lelaki yang sangat tua di hadapan mereka; tampaknya ia muncul dari tanah. "Apakah kau Kidir yang gaib itu, pemandu manusia?" tanya darwis pertama.
"Bukan, ia Kutub, Tiang Semesta," sahut yang kedua.
"Aku yakin, itu pasti tak lain salah seorang dari para Abdal. Orang-orang Yang Terubah," kata yang ketiga.

"Salah semua" teriak bayang-bayang itu keras-keras, "tetapi aku adalah apapun yang kau inginkan tentangku. Dan kini kalian menginginkan satu hal, yakni yang kau sebut Kebenaran Dalam?"

"Ya, O Guru," sahut mereka serentak.
"Pernahkah kalian mendengar peribahasa, ada banyak Jalan sebanyak hati manusia?" tanya kepala itu.

Bagaimanapun, inilah jalanmu:
"Darwis pertama akan mengembara melalui Negeri Orang Tolol; 
Darwis Kedua harus menemukan Cermin Ajaib; 
Darwis Ketiga harus meminta pertolongan Jin Pusaran Air."
Setelah berkata demikian, kepala itupun menghilang.
-----------------------------------------------------

Mereka bertiga membicarakan masalah itu, tidak hanya karena mereka memerlukan penjelasan lebih lanjut sebelum berangkat, tetapi juga karena meskipun mereka semua telah mengadakan latihan berbagai cara, masing-masing percaya bahwa hanya ada satu cara yakni caranya sendiri, tentu saja.

Dan kini, masing-masing tidak yakin benar bahwa caranya sendiri itu cukup berguna, meskipun boleh dikatakan telah mampu mendatangkan bayang-bayang yang baru saja mereka saksikan tadi, yang namanya sama sekali tidak mereka ketahui.
----------------------------------

Yak-Babalah pertama-tama meninggalkan tempat samadinya; biasanya ia akan bertanya kepada orang yang ditemuinya, apakah ada orang bijaksana yang tinggal dekat-dekat daerah itu; tetapi kini ia bertanya apakah mereka mengetahui Negeri Orang Tolol. Akhirnya setelah berbulan-bulan lamanya, ada juga yang tahu, dan berangkatlah ia menuju kesana. Segera setelah ia memasuki negeri itu, dilihatnya seorang wanita menggendong pintu.

"Wanita," tanyanya, "mengapa kau gendong pintu itu?"
"Sebab, pagi tadi, sebelum berangkat kerja, suamiku berpesan: "Istriku, di rumah kita ini tersimpan harta berharga. Jangan kau perbolehkan orang melewati pintu ini." Karena aku pergi, ku bawa pintu ini agar tidak ada yang melewatinya.

"Kini perkenankanlah saya melewatimu." "Apakah saya boleh menjelaskan sesuatu agar kau tahu bahwa sebenarnya tak perlu kau bawa kemana-mana pintu itu?" tanya Darwis Yak-Baba.

"Tidak usah," kata wanita itu. "Satu-satunya yang bisa menolong adalah apabila Saudara bisa menjelaskan cara memperingan bobot pintu ini."
"Wah, itu saya tidak tahu," kata Darwis. Dan mereka pun berpisah.


Beberapa langkah kemudian ia menjumpai sekelompok orang. Mereka semua gemetar ketakutan di depan sebuah semangka besar yang tumbuh di ladang. "Kami belum pernah melihat raksasa itu sebelumnya," mereka menjelaskan kepada Darwis itu, "dan tentunya ia akan tumbuh semakin besar dan membunuh kami semua. Tetapi kami takut menyentuhnya."
"Bolehkah saya mengatakan sesuatu kepada kalian tentang itu?" tanyanya kepada mereka.
"Jangan goblok!" jawab mereka. "Bunuhlah ia, dan kau akan diberi hadiah, tetapi kami tidak mau tahu apapun tentangnya." Maka Darwis itupun mengeluarkan pisau, mendekati semangka itu, memotong seiris, dan kemudian mulai memakannya. Di tengah-tengah jerit ketakutan yang hiruk-pikuk orang-orang itu memberinya uang.

Ketika ia pergi, mereka berkata, "Kami mohon jangan kembali kemari, Tuan Pembunuh Raksasa. Jangan datang kemari dan memakan kami seperti tadi!" Demikianlah, sedikit demi sedikit ia mengerti bahwa di Negeri Orang Tolol, agar bisa bertahan hidup, orang harus bisa berfikir dan berbicara seperti orang tolol.

Setelah beberapa tahun lamanya, ia mencoba mengubah beberapa orang tolol menjadi waras, dan sebagai hadiahnya pada suatu hari Darwis itu mendapatkan Pengetahuan Dalam. Meskipun ia menjadi orang suci di Negeri Orang Tolol, rakyat mengingatnya hanya sebagai Orang yang Membelah Raksasa Hijau dan Meminum Darahnya. Mereka mencoba melakukan hal yang sama, untuk mendapatkan Pengetahuan Dalam -- dan mereka tak pernah mendapatkannya.
------------------------------------------

Sementara itu, Do-Agha, Darwis Kedua, memulai perjalanannya mencari Pengetahuan Dalam. Kali ini ia tidak menanyakan tentang orang-orang suci atau cara-cara latihan yang baru, tetapi tentang Cermin Ajaib, Jawaban-jawaban yang menyesatkan sering didengarnya, namun akhirnya ia mengetahui tempat Cermin itu. Cermin itu tergantung di sumur pada seutas tali yang selembut rambut, dan sebenarnya hanya sebagian saja, sebab Cermin itu terbuat dari pikiran-pikiran manusia, dan tidak ada cukup pikiran untuk bisa membuatnya sebuah Cermin yang utuh.

Setelah itu ia berhasil menipu raksasa yang menjaganya, Do-Agha menatap Cermin itu dan meminta Pengetahuan Dalam.  Sekejap saja ia sudah memilikinya. Iapun tinggal di sebuah tempat dan mengajar dengan penuh kebahagiaan beberapa tahun lamanya. Tetapi pengikut-pengikutnya tidak bisa mencapai taraf pemusatan pikiran yang diperlukan untuk memperbaharui cermin itu secara teratur, cermin itu pun lenyaplah.
Namun, sampai hari ini masih ada orang-orang yang menatap cermin, membayangkan bahwa Cermin Ajaib Do-Agha, Sang Darwis.
------------------------

Sedangkan Darwis Ketiga, Se-Kalandar, ia pergi ke mana-mana mencari Jin Pusaran Air. Jin itu dikenal dengan pelbagai nama, namun Se-Kalandar tidak mengetahuinya; dan bertahun-tahun lamanya ia bersilang jalan dengan Jin itu, senantiasa gagal menemuinya karena Jin itu di sana tidak dikenal sebagai Jin dan mungkin tidak dikait-kaitkan dengan pusaran air.

Akhirnya, setelah bertahun-tahun lamanya, ia pergi ke sebuah dusun dan bertanya, "O Saudara-saudara! apakah ada diantara kalian yang pernah mendengar tentang Jin Pusaran Air?"
"Saya tak pernah mendengar tentang Jin itu," kata seseorang, "tetapi desa ini disebut Pusaran Air."

Darwis merubuhkan tubuhnya ke tanah dan berteriak, "Aku tak akan meninggalkan tempat ini sampai Jin Pusaran Air muncul di hadapanku!"

Dan Jin itu, yang sedang lewat dekat tempat itu, memutar langkahnya dan berkata, "Kami tidak menyukai orang asing di desa kami, darwis. Karena itu aku datang padamu. Nah, apa yang kau cari?" 

"Aku mencari Pengetahuan Dalam, dan aku diberi tahu bahwa dalam keadaan tertentu kau bisa mengatakan padaku bagaimana mendapatkannya."
"Tentu, aku bisa," kata Si Jin. "Kau telah mengalami banyak hal. Yang harus kau lakukan tinggal mengucapkan ungkapan ini, menyanyikan lagu itu, melakukan tindakan itu. Kau pun nanti akan mendapatkan Pengetahuan Dalam." 

Darwis itu mengucapkan terima kasih kepada Jin, lalu memulai latihannya.
Bulan-bulan berlalu, kemudian bertahun-tahun, sampai akhirnya ia berhasil melakukan pengabdian dan ketaatannya secara benar. Orang-orang datang dan menyaksikannya dan kemudian meniru-nirunya, karena semangatnya, dan karena ia dikenal sebagai orang yang taat dan saleh. Akhirnya Darwis itu mencapai Pengetahuan Dalam; jauh meninggalkan pengikut-pengikutnya yang setia, yang meneruskan cara-caranya.
Tentu saja mereka itu tidak pernah mencapai Pengetahuan Dalam, sebab mereka memulai pada akhir telaah Sang Darwis.
-------------

Setelah itu, apabila ada pengikut-pengikut ketiga Darwis itu bertemu, salah seorang berkata,
"Aku memiliki kaca Tataplah, dan kau akan mencapai Pengetahuan Dalam."

Yang lain menjawab, "Korbankan semangka, ia akan menolongmu seperti yang pernah terjadi atas Yak-Baba." 

Yang ketiga menyela, "Tak mungkin: Satu-satunya cara adalah tabah dalam mempelajari dan menyusun latihan tertentu, sembahyang, dan bekerja keras."
-----------------

Ketika pada kenyataannya ketiga Darwis itu berhasil mencapai Pengetahuan Dalam, mereka bertiga mengetahui bahwa tak mampu menolong mereka yang telah mereka tinggalkan di belakang: seperti ketika seorang terbawa oleh air pasang dan melihat di darat ada seorang diburu singa, dan tidak bisa menolongnya.



Catatan 
Petualangan-petualangan orang-orang ini nama-nama mereka berarti "satu," "dua" dan "tiga" --kadang-kadang diartikan sebagai ejekan terhadap agama yang lazim. Kisah ini merupakan ringkasan sebuah kisah ajaran yang terkenal, Apa yang Terjadi atas Mereka Bertiga."

Kisah ini dianggap sebagai ciptaan guru Sufi, Murad Shami, kepala Kaum Muradi, yang meninggal tahun 1719. Para darwis yang menceritakannya menyatakan bahwa kisah ini mempunyai pesan dalam yang jauh lebih penting dalam hal-hal praktis, daripada arti yang diluarnya saja.




Sumber :
Kisah-kisah Sufi
Kumpulan kisah nasehat para guru sufi selama seribu tahun yang lampau
Terjemahan Sapardi Djoko Damono
Penerbit Pustaka Firdaus, 1984.
Read more ...

Orang-orang Yang Sampai

Orang-orang Yang Sampai


Ilustrasi Imam Al-Ghazali.  Sumber: di sini


Imam Al-Ghazali mengisahkan suatu cerita dalam kehidupan Isa bin Maryam.

Pada suatu hari Isa melihat orang-orang duduk bersedih disebuah tembok, dipinggir jalan.

Tanyanya,
"Apa gerangan yang merundungmu semua?"
Jawab mereka, "Kami menjadi seperti ini lantaran ketakutan kami menghadapi neraka."

Isa pun meneruskan perjalanannya, dan melihat sejumlah orang berkelompok berduka dalam berbagai gaya dipinggir jalan.  Katanya, "Apa gerangan yang merundung kalian?" 
Merekamenjawab, "Keinginan akan sorga telah membuat kami semua begini."

Isa pun melanjutkan perjalanannya, sampai ia bertemu dengan kelompok ketiga.
Tampaknya orang-orang itu telah menderita amat sangat, tetapi wajah mereka bersinar bahagia.
Isa bertanya, "Apa gerangan yang telah membuatmu begitu?"

Mereka menjawab, "Semangat Kebenaran. Kami telah melihat Kenyataan, dan hal itu telah menyebabkan kami melupakan tujuan-tujuan lain yang sepele."

Isa berkata, "Orang-orang itu telah sampai. Pada Hari Perhitungan nanti, merekalah yang akan berada di Sisi Tuhan." 



Catatan

Kisah Sufi tentang Yesus ini sering mengejutkan mereka yang percaya bahwa kemajuan rohaniah hanya tergantung pada pengolahan masalah ganjaran dan siksa. Para Sufi mengatakan bahwa hanya orang-orang tertentu bisa mengambil keuntungan dari pelibatan diri pada masalah untung atau rugi; dan bahwa hal ini mungkin hanya merupakan sebagian saja dari pengalaman orang-seorang.

Mereka yang telah mempelajari pelbagai cara dan akibat keadaan dan pencekokan (conditioning and indoctrination) mungkin merasa sepakat dengan pandangan tersebut. Tentu saja, kaum agamawan formal, dalam pelbagai keyakinannya tidak mengakui bahwa pilihan sederhana atas baik-buruk, ketegangan-kelonggaran, ganjaran-siksa hanyalah sekedar bagian-bagian suatu sistem lebih besar dari kesadaran diri.




Sumber :
Kisah-kisah Sufi
Kumpulan kisah nasehat para guru sufi selama seribu tahun yang lampau
Terjemahan Sapardi Djoko Damono
Penerbit Pustaka Firdaus, 1984.
Read more ...

Kunyahlah Buahmu Sendiri

Kunyahlah Buahmu Sendiri



Ilustrasi Mengunyah Buah, sumber : di sini


Seorang murid mengeluh kepada Gurunya:

'Bapak menuturkan banyak cerita, tetapi tidak pernah menerangkan maknanya kepada kami.'


Jawab sang Guru:

'Bagaimana pendapatmu, Nak, andaikata seseorang menawarkan buah kepadamu, namun mengunyahkannya dahulu kepadamu?'


Tak seorang pun dapat menemukan pengertian yang paling tepat bagi dirimu sendiri. Sang Guru pun tidak mampu.




Sumber :
Burung Berkicau,
Anthony de Mello SJ,
Cetakan 7, 1994
Yayasan Cipta Loka Caraka,
Read more ...

Yang Putih atau Yang Hitam ?

Yang Putih atau Yang Hitam ?

ilustrasi domba putih dan domba hitam.  sumber: di sini


Seorang gembala sedang menggembalakan dombanya.
Seorang yang lewat berkata, "Engkau mempunyai kawanan domba yang bagus.
Bolehkan saya mengajukan beberapa pertanyaan tentang domba-domba itu?"
"Tentu," kata gembala itu.
Orang itu berkata, "Berapa jauh domba-dombamu berjalan setiap hari?"
"Yang mana, yang putih atau yang hitam?"
"Yang putih."
"Ah, yang putih berjalan sekitar enam kilometer setiap hari."
"Dan yang hitam?"
"Yang hitam juga."

"Dan berapa banyak rumput mereka makan setiap hari?"
"Yang mana, yang putih atau yang hitam?"
"Yang putih."
"Ah, yang putih makan sekitar empat pon rumput setiap hari."
"Dan yang hitam?" "Yang hitam juga."

"Dan berapa banyak bulu yang mereka hasilkan setiap tahun?"
"Yang mana, yang putih atau yang hitam?"
"Yang putih."
"Ah menurut perkiraan saya, yang putih menghasilkan sekitar enam pon bulu setiap tahun kalau mereka dicukur."
"Dan yang hitam?" "Yang hitam juga."


Orang yang bertanya menjadi penasaran.
"Bolehkah saya bertanya, mengapa engkau mempunyai kebiasaan yang aneh, membedakan dombamu menjadi domba putih dan hitam setiap kali engkau menjawab pertanyaanku?"

Gembala itu menjawab, "Tentu saja. Yang putih adalah milik saya."
"Ooo, dan yang hitam?"
"Yang hitam juga," kata gembala itu.

Pikiran manusia membuat pemisahan-pemisahan yang bodoh, yang oleh Sang Kasih dilihat sebagai satu.



Sumber :
Doa Sang Katak 2
Anthony de Mello
Cetakan 12, 1990
Penerbit Kanisius
Read more ...

Batas Dogma

Batas Dogma


Ilustrasi Sultan Mahmud yang Agung. Sumber: disini


Pada suatu hari, Sultan Mahmud yang Agung berada dijalan di Ghazna, ibu kota negerinya.
Dilihatnya seorang kuli mengangkut beban berat, yakni sebungkah batu yang didukung di punggungnya. 

Karena rasa kasihan terhadap kuli itu, Mahmud tidak bisa menahan perasaannya, katanya memerintah:   "Jatuhkan batu itu, kuli."
Perintah itupun langsung dilaksanakan.

Batu tersebut berada di tengah jalan, merupakan gangguan bagi siapapun yang ingin lewat, bertahun-tahun lamanya.
Akhirnya sejumlah warga memohon raja agar memerintahkan orang memindahkan batu itu.   Namun Mahmud, menyadari akan kebijaksanaan administratif, terpaksa menjawab:

"Hal yang sudah dilaksanakan berdasarkan perintah, tidak bisa dibatalkan oleh perintah yang sama derajatnya. Sebab kalau demikian, rakyat akan beranggapan bahwa perintah raja hanya berdasarkan kehendak sesaat saja. Jadi, biar saja batu itu di situ."

Oleh karenanya batu tersebut tetap berada di tengah jalan itu selama masa pemerintahan Mahmud. Bahkan ketika ia meninggal batu itu tidak dipindahkan, karena orang-orang masih menghormati perintah raja.

Kisah itu sangat terkenal.
Orang-orang mengambil maknanya berdasarkan salah satu dari tiga tafsiran, masing-masing sesuai dengan kemampuannya.

Mereka yang menentang kepenguasaan beranggapan bahwa kisah itu merupakan bukti ketololan penguasa yang berusaha mempertahankan kekuasaannya.   
Mereka yang menghormati kekuasaan merasa hormat terhadap perintah, betapapun tidak menyenangkannya.  
Mereka yang bisa menangkap maksudnya yang benar, bisa memahami nasehat yang tersirat.

Dengan menyuruh menjatuhkan batu di tempat yang tidak semestinya sehingga merupakan gangguan, dan kemudian membiarkannya berada disana, Mahmud mengajar kita agar mematuhi penguasa duniawi dan sekaligus menyadarkan kita bahwa siapapun yang memerintah berdasarkan dogma kaku, tidak akan sepenuhnya berguna bagi kemanusiaan. Mereka yang menangkap makna ini akan mencapai taraf pencari kebenaran, dan akan bisa menambah jalan menuju Kebenaran.



Catatan:
Kisah ini muncul dalam karya klasik yang terkenal, Akhlaq-i-Mohsini 'Akhlak Dermawan,' ciptaan Hasan Waiz Kashifi; hanya saja tanpa tafsir seperti yang ada dalam versi ini.   Versi ini merupakan bagian ajaran syeh Sufi Daud dari Qandahar, yang meninggal tahun 1965. 


Kisah ini merupakan pengungkapan yang bagus tentang pelbagai taraf pemahaman terhadap tindakan; masing-masing orang akan menilainya berdasarkan pendidikannya. Metode penggambaran tak langsung yang dipergunakan Sultan Mahmud itu dianut pada Sufi, dan bisa diringkaskan dalam ungkapan, "Bicaralah kepada dinding, agar pintu bisa mendengar."




Sumber :
Kisah-kisah Sufi
Kumpulan kisah nasehat para guru sufi selama seribu tahun yang lampau
Terjemahan Sapardi Djoko Damono
Penerbit Pustaka Firdaus, 1984.
Read more ...

Dasar Teori Tentang Majnun

Dasar Teori Tentang Majnun

Ilustrasi Saridin Majnun.  Sumber: di sini


Memang bukan Saridin namanya kalau tidak gila. Dan bukan gilanya Saridin kalau definisinya sama dengan definisi Anda tentang gila. Wong sama saya saja Saridin sering bertengkar soal mana yang gila dan mana yang tidak kok. Padahal saya juga agak gila. Apalagi sama Anda. Anda kan jelas-jelas waras.

Misalnya di jaman Demak bagian akhir-akhir itu saya menyatakan bersyukur bahwa dakwah para Wali semakin produktif. Sunan Ampel yang berfungsi sebagai semacam Ketua MPR, Sunan Kudus sebagai Menko Kesra, Sunan Bonang sebagai Pangab, atau Sunan Kalijaga sebagai Mendikbud, benar-benar menjalankan suatu managemen sejarah dan strategi sosialisasi nilai dengan metoda-metoda yang canggih dan efektif. Bukan hanya komunitas-komunitas Islam semakin menyebar dan meluas, tapi juga mutu kedalaman orang beribadah semakin menggembirakan.

Tapi Saridin menertawakan saya. Dan bagi saya sangat menyakitkan karena tertawanya dilambari aji-aji kedigdayaan batin: begitu suara tertawanya lolos dari terowongan tenggorokan Saridin, pepohonan bergetar-getar, burung-burung beterbangan menjauh, awan-awan dan mega melarikan diri sehingga matahari gemetar tertinggal sendirian di langit.

"Jangan sok kamu Din!" saya berteriak.
Saridin menghentikan tertawanya. Ia menjawab. "Bersyukur ya bersyukur, tapi kalau saya, juga berprihatin."

"Kenapa?" tanya saya.
"Diantara orang-orang yang beribadah kepada Tuhan itu banyak yang majnun!"

"Gila?"
"Ya, Majnun itu artinya ya gila, Majnun!"

"Majnun gimana?"

"Pengertian kita tentang junun atau kegilaan kayaknya berbeda. Bagi saya gitu itu gila, tapi bagi kamu tidak."

"Gitu itu gimana yang kamu maksud?"
 "Orang berdiri khusyuk dan bersedekap. Matanya konsentrasi ke kiblat. Mulutnya mengucapkan hanya kepada-Mu aku menyembah, dan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan....", tiba-tiba tertawanya meledak lagi, sehingga tanah yang saya pijak terguncang, padahal tidak demikian.

"Orang itu tidak hanya kepada Tuhan menyembah. Wong jelas tiap hari dia menyembah para priyayi, para priyagung, para Tumenggung atau Adipati. Minta tolongnya juga kebanyakan tidak kepada Tuhan. Ia lebih banyak tergantung pada atasannya dibanding kepada Tuhan. 

Meskipun dia tidak menyatakan, tapi terbukti jelas dalam perilaku dia bahwa yang nomor satu bagi hidupnya bukan Tuhan, melainkan penguasa-penguasa lokal dalam hidupnya. Entah penguasa politik, atau penguasa ekonomi. Itu namanya majnun

Tuhan kok dibohongi. Dan caranya membohongi Tuhan dengan kekhusyukan lagi! Kalau otaknya sehat, hal begitu tidak terjadi. Hanya otak gila saja yang memungkinkan hal itu terjadi....."

Saya melengos. "Ah, kamu ini terlalu idealis. Normal dong kalau manusia punya kelemahan yang demikian. Mana ada manusia yang sempurna. Orang kan boleh berproses. Orang berhak belajar secara bertahap. Pengabdiannya kepada Tuhan diolah dari belum utuh menjadi utuh pada akhirnya. Konsistensi seseorang atas kata-kata yang diucapkannya kan bertahap, tidak bisa langsung seratus persen!"



Sumber :
Artikel Emha Ainun Najib (Cak Nun)
Read more ...

Daftar Tulisan Sufisme

Read more ...

Sufisme


SUFISME

 

Ilustrasi Sufisme  

PENGANTAR SUFISME

 

Definisi Sufisme menurut Mr. G.B.J Hiltermann dan Prof.Dr.P.Van De Woestijne, adalah paham mistik dalam agama Islam sebagaimana Taoisme di Tiongkok dan ajaran Yoga di India, sedangkan menurut Dr. C.B. Van Haeringen sufisme adalah aliran kerohanian mistik dalam agama Islam. (Sumber : wikipedia, sufisme)

Sufi, dalam islam adalah istilah untuk mereka yang mendalami ilmu tasawwuf, yaitu ilmu yang mendalami ketakwaan kepada Allah swt. Ilmu yang dipelajari namanya tasawuf, orang yang mengamalkannya namanya salik, perjalanannya namanya suluk, jalan yang dilaluinya namanya thoriqoh (di indonesia dikenal tarekat, dijawa dikenal tirakat) -- memiliki akar tujuan yang sama, tetapi dalam perjalanannya ketiga kata ini diartikan berbeda.

Di agama Budha, dikenal sebagai tahap arupadatu, sedangkan di agama Kristen dikenal sebagai biarawan/ biarawati, sebagai cara menjalani kehendak Tuhan secara penuh dan memerdekakan diri dari budak kesenangan dunia.

Istilah sufi -- orang suci -- dalam perjalanannya dipakai secara luas, bukan saja untuk tokoh agama dari agama tertentu, tetapi bagi seseorang yang secara spiritual dan rohaniah telah matang dan yang kehidupannya tidak lagi membutuhkan dan melekat kepada dunia dan segala isinya, kecuali untuk kebutuhan dasarnya saja.

Sufi dalam konteks ini diamalkan sebagai cara sejati untuk memurnikan jiwa dan hati, mendekatkan diri kepada Tuhan dan mendekatkan diri kepada SorgaNya.



TOKOH-TOKOH SUFI


Tokoh-tokoh Sufisme, yang terkenal antara lain : Al Hallaj, Jalaluddin Rumi, Abdul Qadir jaelani, Abu Nawas, Syekh SIti Jenar, dan masih banyak lagi.

Saya pribadi lebih sepakat dengan pendapat bahwa sufisme adalah jalan menuju kemurnian batin, maka dalam Page ini, tulisan-tulisan yang saya masukkan tidak melulu yang 'nuansa agamis'-nya kental, tapi yang mengangkat tema budaya, terkait moral, estetika, sosial, kemanusiaan, dalam 'penyajian lebih cair' juga saya masukkan sebagai tulisan  sufisme. Maka beberapa karya Anthony de Mello Sj, Mohammad Sobary, Guyonan Emha Ainun Najib, Humor Gus Dur, dll, di sini.

Bagi yang berminat sejenak menapaki jalan sufi, silahkan langsung meluncur ke:

DAFTAR TULISAN SUFISME


dan selamat menikmati, menyerap makna, dan mengambil hikmah Sufisme bagi kehidupan ...


Salam Hangat,



Thomas Pras

Read more ...